MAKALAH
TUGAS
MANDIRI
DISUSUN
UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR SEMESTER
PENGANTAR
HUKUM INDONESIA
NAMA : ADI FIRDAUS
NIM :1210305006
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
BAB
I
TATA
HUKUM INDONESIA
A. Pengertian
Tata Hukum
Tata
hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau oleh Negara
Indonesia. Oleh sebab itu Tata hokum Indonesia ada sejak proklamasi
kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. sejak saat itu bangsa Indonesia
telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri
yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru ialah Tata Hukum
Indonesia.
Didalam memorandumnya tertanggal 9
Juni 1966, DPRGR antara lain menyatakan bahwa:
Proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah ‘detik
penjebolan’ tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum
nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya…
Dengan demikina
jelaslah kiranya bahwa proklamasi berarti:
- Menegarakan Indonesia, menjadi suatu Negara;
- Pada saat itu Pula penetapan Tata Hukum Indonesia.
Meskipun
kita telah merdeka dan berdaulat telah pula dapat merubah system dan dasar
susunan ketatanegaraan, namun dalam bidang hukum belum mampu mengubah sama
sekali hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat. Ketidakmampuan ini diakui
Negara, yaitu dengan selalu mengadakan peraturan peralihan dalam undang-undang
dasarnya (pasal peralihan adalah pasal yang berisi petunjuk mengenai peralihan
dari tata hukum yang lama ke tata hukum yang baru).
Pasal peralihan yang dimaksud
terdapat pada pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
sebagai berikut:
“Segala Badan
Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
B. Politik
Hukum Indonesia
Menurut
pendapat Teuku Mohammad Radhie, S.H. (Prisma No. 6 tahun ke II desember 1973)
pengertian politik hukum yaitu:
“Adapun politik
hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak penguasa Negara
mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak
dikembangkan”.
Didalam UUD 1945 kita tidak
menjumpai satu pasal pun yang menyebutkan masalah politik hukum Negara
Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai pada
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Undang-Undang dasar 1950,
kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hokum Negara Indonesia
dibawah UUD 1950, yaitu pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hukum perdata
dan hokum dagang, hokum pidana sipil maupun hokum pidana militer, hukum acara
perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan
Undang-Undang dalam kitab Hukum, kecuali jika perundang-undangn menganggap
perlu untuk mengatur beberapa hal dalam uandang-undang tersendiri”.
Dari pasal 102 UUD 1950 dapat
diambil kesimpulan bahwa Negara Indonesia pada waktu itu menghendaki dikodifikasikannya
lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga pasal 102 ini terkenal dengan pasal
kodifikasi.
C. Pembinaan
Hukum nasional
Pada
tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Nasional Indonesia telah mengajukan
permohonan kepada Perdana Mentri RI agar dibentuk suatu Panitia Negara
Pembinaan Hukum Nasional Dengan Keputusan Presiden nomor 107 tahun 1958,
dibentuklah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakrta dengan diberi tugas
“Melaksanakan Pembinaan Hukum nasional dengan tujan mencapai tata hukum nasional”.
Suatu
peristiwa penting dalam pembinaan hokum nasional adalah penemuan lambing
keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita yaitu berupa pohon beringin
yang berarti pengayoman oleh menteri Dr. Sahardjo yang menggantikan symbol dari
Negara Barat yang berupa Dewi Keadilan (themis) yang dibalut matanya dan
memegang disatu tangan pedang dan ditangan lain traju (timbangan).
Didalam
Negara Republik Indonesia akan hanya dikenal satu hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional. Perlu diingat bahwa hukum yang akan kita susun
adalah hukum yang modern, meningkatkan kemampuan sesuai kebutuhan, yang
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
- Konsentris, artinya adanya satu tangan yang mengatur/ membuat (yaitu pengundang-undang).
- Konvergen, artinya hokum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan.
- Tertulis, untuk lebih menjamin kepastian hukuM
BAB
2
SUMBER-SUMBER
HUKUM
Yang
dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi tegas dan
nyata.
Sumber hukum
dapat dilihat dari dua segi/sudut, yaitu segi materiil dan segi formil. Sumber
hukum dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya sudut ekonomi, sejarah,
sosiologi. Sumber hukum formil adalah tempat dimana kita dapat menemukan dan
mengenal hukum terdiri dari:
1.
Undang-undang
Undang-undang
mempunyai dua pengertian menurut Buys, yakni: (1) Undang-undang dalam arti
formil adalah setiap peraturan dibuat oleh alat pengundang-undang dan isinya
mengikat umum. Contohnya: unadng-undang yang dibuat berdasarkan pasal 5 ayat 1
UUD 1945. (2) Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap peraturan
keputusan yang dibuat bukan oleh badan pengundang-undang tapi isinya mengikat
umum. Contohnya: Peraturan Pemmerintah dasar hukumnya Pasal 5 ayat 2 UUD 1945.
2.
Yurisprudensi
Yurisprudensi
sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan yurisprudentie dalam
bahasa belanda dan Yurisprudence dalam bahasa Perancis, yang artinya keputusan
hakim yang terdahulu yang diikuti oleh hakim dan dijadikan dasar keputusan
hakim lain mengenai kasus yang sama.
Ada tiga alasan mengapa seorang
hakim mengikuti keputusan hakimlain, yaitu:
Keputusan hakim
yang mempunyai kekuasaan, terutama bila keputusan itu dibuat oleh Mahkamah
agung atau pengadilan Tinggi, karena lasan psikologis maka seorang hakim akan
mengikuti keputusan hakim lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Karena alasan
praktis.
Sependapat,
hakim mengikuti keputusan hakim lain karena ia sependapat/ menyetujui keputusan
hakim lain tersebut.
3.
Traktat
Traktat
atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antara dua atau lebih Negara. Bila
diikuti oleh dua Negara disebut bilateral, sedangkan bila diikuti oleh banyak
Negara disebut multirateral.
Kita
mengenal dua macam perjanjian: traktat dan agreement. Traktat dibuat oleh
presiden dengan persetujuan DPR, sedang agreement dibuat hanya dengan keputusan
presiden, biasanya menyangkut bidang politik.
4.
Kebiasaan
Kebiasaan
adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang
sama. Jadi kebiasaan itu bukan hasil putusan dari badan legislative dalam
Negara. Kebiasaan itu walaupun tidak ditentukan oleh pemerintah namun diakui
dan ditaati oleh anggota-anggota masyarakat.
Supaya hukum kebiasaaan itu ditaati,
maka ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Suatu perbuatan
yang tetap dilakukan orang.
Adanya keyakinan
bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah merupakan kewajiban.
5.
Pendapat Ahli Hukum
Pendapat
para ahli hukum/ sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Pendapat ahli/ sarjana
Hukum itu menjadi sumber hukum melalui Yurisprudensi.
BAB
3
ASAS-ASAS
HUKUM PERDATA
A. Sejarah
Hukum Perdata
Hukum
privat Barat yang sampai sekarang masih berlaku, berasal dari negeri Beland,
yang bersumber pada Hukum Privat Perancis. Sedangkan Hukum Privat Prancis
bersumber pada Corpus Luris Justinianus dari Romawi.
Hukum
Privat yang berlaku di Prancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu
lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama Code
Civil dan Code de Commerce.
Sampai kurang 24 tahun sesudah
Negeri Belanda merdeka dari Prancis tahun 1815, kedua kodifikasi itu masih berlaku
di negeri Belanda. Baru pada tahun 1838 dengan berdasarkan asas yang terdapat
dalam Code Civil dan Code de Commerce, pemerintah Belanda dapat menciptakan 2
kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama Burgelijk Wetboek yang
disingkat BW dan Wetboek van Koophandel disingkat WvK.
Burgelijk Wetboek memuat peraturan
mengenai hokum perdata, dimana kodifikasinya dibagi dalam 4 buah buku, yaitu:
Buku I : Tentang Orang (van Personen)
Buku II : Tentang Benda (van zaken)
Buku III : Tentang Perikatan (van
Verbintenissen)
Buku IV : Tentang Pembuktian dan daluwarsa (van
Bewitsen verjaring)
Wetboek van Koophandel memuat
peraturan mengenai perdagangan dan kodifikasi ini terdiri dari 2 buku, yaitu:
Buku I :
Tentang Perniagaan pada umumnya ( van Koophandel in het Algemeen).
Buku II :
Tentang Hak dan Kewajiban yang ditimbulkan oleh perkapalan ( van de Rechten
en verpligtingen uit scheepvaart voortsruitende).
B. Buku I: Tentang Orang
Buku
I kitab Undang-Undang Hukum Perdata menurut namanya terdiri atas peraturan-peraturan
yang mengatur mengenai subjek Hukum. Disamping itu memuat juga
peraturan-peraturan hubungan keluarga, yaitu mengenai:
1.
Perkawinan dan hak
kewajiban Suami Istri.
Alasan-alasan putusnya perkawinan (pasal 199) diantaranya adalah (1)
kematian, (2) kepergian suami atau istri selama 10 tahun, (3) akibat perpisahan
meja dan tempat tidur, (4) Perceraian.
Hak dan kewajiban susmi istri dalam BW tercantum dalam Bab V Pasal 103
sampai dengan 118, yang berisi (1) kekuasaan material ada pada suami, yaitu
bahwa suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan
anak-anaknya, (2) kewajiban nafkah dari suami, (3) Istri mengikuti domisili
suami, (4) Istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suami, dan lain-lain.
2.
Kekayaan Perkawinan,
Menurut pasal 119, mulai saat perkawinan dilangsungkan,
demi hukum berlakulah bulat antar harta kekayaan suami dan istri, sekedar
mengenai kekayaan ini tidak diadakan ketentuan lain dengan perjanjian kawin.
3.
Kekuasaan Orang tua,
Kekuasaan orang tua berlaku selama ayah dan ibunya
masih dalam ikatan perkawinan. Kekuasaan orang tua itu berhenti apabila (1)
anak telah dewasa atau telah kawin lebih dahulu (sebelum usia dewasa), (2)
Perkawinan orangtua putus, (3) kekuasaan orangtua dipecat oleh hakim (misalnya karena pendidikannya buruk sekali),
(4) Pembebasan dari kekuasaan orangtua (misalnya karena kelakuan si anak luar
biasa nakalnya hingga orang tua tidak berdaya lagi).
4.
Perwalian dan Pengampuan.
Perwalian diatur
dalam KUH Perdata mulai pasal 331 dan seterusnya. Perwalian dapat dibedakan
dalam (1) Methelijk Voogdij (Perwalian menurut undang-undang), perwalian
dari orangtua yang amsih hidup, setelah salah satu meninggal dunia terlebih
dahulu, (2) Testamenter Voogdij (Perwalian secara wasiat), perwalian
yang ditetapkan oleh seorang dari orangtua, yang punya hak orang tua atau
perwalian, kepada oranglain setelah orang tua meninggal dunia, (3) Datieve
Voogdij, perwalian selain dari hal-hal sebelumnya.
Pengampuan diatur dari pasal 433 KUH Perdata dan seterusnya.
Antar pengampuan, perwalian, dan kekuasaan orangtua ada persamaan dan ada
perbedaanya. Pesamaannya adalah bahwa kesemuanya itu mengawasi dan
menyelenggarakan hubungan hokum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap
bertindak. Sedangkan perbedaanya yaitu, kekuasaan orangtua adalah kekuasaan
asli dilakukan oleh orangtuanya sendiri yang masih dalam ikatan perkawinan
terhadap anak-anak yang belum dewasa. Pada perwalian, pemeliharaan dan
bimbingan dilakukan oleh wali, dapatsalah satu orang tuanya sudah tidak terikat
lagi dalam perkawinan atau orang lain terhadap anak yang belum dewasa. Pada
pengampuan, bimbingan dilaksanakan oleh curator terhadap orang-orang dewasa
yang tidak cakap/tidak mampu.
C. Buku II : Tentang Benda (van zaken)
Didalam
system hukum Barat untuk benda dibagi dalam dua macam menurut pasal 503 KUH
Perdata yang terdiri dari benda berwujud dan benda tak berwujud (benda bertubuh
dan benda tak bertubuh). Selain pembagian tersebut masih dikenal pembagian lain
menurut pasal 504 KUH Perdata yang terdiri atas benda bergerak dan benda tidak
bergerak.
D.
Buku III : Tentang Perikatan (van
Verbintenissen)
Yang dimaksud dengan Perikatan
ialah, suatu perhubungan hokum (mengenai kekayaan benda-benda) antara dua orang
yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan pihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Objek dari perikatan yaitu prestasi,
yaitu hal pemenuhan perikatan yang terdiri dari: (1) Memberikan sesuatu,
misalnya membayar harga, menyerahkan barang dsb. (2) Berbuat sesuatu, misalnya
memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, berdasarkan putusan
pengadilan. (2) Tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak mendirikan suatu
bangunan, berdasarkan putusan pengadilan.
E. Buku IV : Tentang Pembuktian dan daluwarsa (van
Bewitsen verjaring)
Soal pembuktian sebenarnya masuk hukum
acara, tetapi pembuat undang-undang pada waktu BW dibuat mempunyai pendapat bahwa
pembuktian termasuk apada hukum acara materiil, sehingga dapat dimasukan
kedalam hukum perdata materiil. Dalam pemerikasaan perkara perdata hal-hal yang
dibantah oleh pihak lawan sajalah yang harus dibuktikan. Menurut undang-undang
ada 5 macam pembuktian, yaitu: (1) Surat-Surat, (2) Kesaksian, (3) Persangkaan,
(4) Pengakuan, (5) Sumpah.
Daluwarsa adalah suatu alat untuk
meperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang
(Pasal 1946).
BAB
4
ASAS-ASAS
HUKUM DAGANG
A. Sejarah
Hukum Dagang
Perkembangannya dimulai sejak kurang
lebih tahun 1500. Di Italia dan Prancis Selatan lahir kota-kota pusat
perdagangan seperti Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona, dll. Berhubungan
dengan hal itu hokum Romawi (Corpus Luris Civillis) tidak dapat
menyelesaikan perkara-perkara yang ada pada waktu itu, sehingga para pedagang
(gilda) membuat peraturan sendiri disamping Hukum Romawi, yang masih bersifat
kedaerahan.
Di Prancis pada abad 17, Raja Louis
XIV memerintahkan menteri Keuangannya Colbert untuk membuat kodifikasi hukum
dagang yang pada tahun 1973 (Ordonnance du Commerce) dan pada tahun 1681
dibuat Ordonnance de la Marine.
B. Sistematika
KUHD
Kitab
Undang-undang Hukum Dagang terdiri dari dua buku, Buku I terdiri atas 10 Bab
dan berjudul:
Buku I :
Tentang Dagang Pada Umumnya.
Bab I :
Tentang Pedagang dan perbuatan Pedagang
Bab II :
Tentang Pemegang Buku
Bab III : Tentang Beberapa Jenis
Perseroan.
Bab IV :
Tentang Bursa Dagang, Makelar, dan kasir.
Bab V :
Tentang Komisioner, Ekspeditur, Pengangkut dan Nakhoda Perahu yang Melalui
sungai dan Perairan Darat.
Bab VI :
Tentang Surat wesel dan surat order.
Bab VII :
Tentang Cheque, Promes, dan kuitansi kepada pembawa.
Bab VIII :
Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam kepailitan.
Bab IX :
Tentang asuransi dan Pertanggungan pada umumnya.
Bab X :
Tentang Pertanggungan (asuransi) terhadap kebakaran, bahaya yang mengancam
hasil-hasil pertanian belum dipenuhi, dan pertanggungan jiwa.
Buku II :
Tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran.
Bab I :
Tentang kapal Laut dan Muatannya.
Bab II :
Tentang pengusaha-pengusaha dan perusahaan perkapalan.
Bab III :
Tentang Nakhoda, Anak kapal, dan penumpang.
Bab IV :
Tentang perjanjian laut.
Bab VA :
Tentang Pengangkutan Barang.
Bab VB :
Tentang Pengngkutan Orang.
Bab VI :
Tentang Penubrukan.
Bab VII :
Tentang Pecahnya kapal, pendamparan, dan ditemukannya barang dilaut.
Bab VIII :
Dihapuskan ( menurut stb. 1933 No. 47 jo. Stb. 1938 no.2 yang mulai berlaku 1
april 1938).
Bab IX :
Tentang Pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan terhadap bahaya
pembukaan.
Bab X :
Tentang Pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan didaratan, disungai,
dan diperairan darat.
Bab XI : Tentang Kerugian laut
(Avary).
Bab XII : Tentang Berakhirnya
Perikatan-perikatan dalam perdagangan dilaut.
Bab XIII :
Tentang Kapal-kapal dan Perahu-perahu yang melalui sungai dan perairan daratan.
C. Hubungan
Hukum Perdata dengan KUHD
Hukum
dagang adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang mengatur dengan disertai
sanksi perbuatan-perbuatan manusia didalam usaha mereka untuk menjalankan
perdagangan. Hukum Privat Eropa dibagi dalam hukum Perdata dan Hukum Dagang.
Pembagian ini tidak merupakan pembagian yang bersifat asasi, hanya berdasarkan
dari riwayat hukum Dagang saja. Pembagian hukum Privat menjadi Hukum dagang dan
hokum perdata tidak bersifat asasi dapat dibuktikan dari:
1.
Pasal 1 KUHD yang menyebutkan
sebagai berikut:” Kitab Undang-undang Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur di dalam
Kitab Undang-Undang ini, sekedar didalam
undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.
2.
Perjanjian jual beli yang penting
dalam hokum dagang tidak ditetapkan dalam KUHD melainkan ditetapkan dalam KUH
Perdata.
3.
Asuransi yang penting bagi
persoalan perdata ditetapkan dalam KUH Dagang.
D. Perantara
Dalam Hukum Dagang
Adapun
pemberian perantara produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam
pekerjaan, seperti misalnya:
1.
Pekerjaan perantara sebagai
makelar, komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
2.
Pengangkutan untuk kepentingan
lalu lintas baik didarat, laut dan sebagainya.
3.
Pertanggungan, asuransi yang
berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup resiko
pengangkutan dengan asuransi.
E.
Pengangkutan
Pengangkutan adalah perjanjian
dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/ barang dari satu
tempat ke lain tempat, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos. Menurut
Undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi untuk melaksanakan
pengangkutan saja, tidak perlu ia sendiri yang mengusahakan alat pengangkutan.
F. Asuransi
Asuransi adalah suatu perjanjian
yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu, kejadian
mana akan menentukan untung ruginya salah satu pihak.
G.
Sumber-sumber Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Kebiasaan, Yurisprudensi, dan
Peraturan-peraturan tertulis lainnya antara Undang-Undang tentang Bentuk-bentuk
Usaha Negara (Undang-Undang No.9 tahun 1969), Undang-Undang Oktroi,
Undang-Undang tentang merek, Undang-Undang tentang Kadin, Undang-undang tentang
Perindustrian, Koperasi, Pailisemen, dan lain-lain.
H.
Persekutuan Dagang
Dalam hukum dagang dikenal beberapa
persekutuan dagang, antara lain:
1.
Firma yaitu suatu persekutuan yang
bertujuan melakukan perusahaan bersama dibawah satu nama sehingga dalam bentuk
firma itu beberapa orang melakukan usahanya dibawah nama yang telah
disepakatinya. Pendirian suatu firma harus dilakukan dengan akte notaris.
2.
Perseroan Komanditer dalam
perseroan komanditer terdapat dua macam persero, yaitu persero biasa dan persero
komanditer. Persero komanditer hanya menyediakan modal saja dan tidak ikut
menjalanakan perusahaan, persero ini hanya bertanggung jawab sampai sejumlah
uang yang disetorkan saja.
3.
Perseroan Terbatas, dalam
perseroan terbatas tiap persero bertanggung jawab dengan modal yang disetor
saja.
4.
Koperasi, perkumpulan koperasi
adalah perkumpulan yang anggota-anggotanya diperkenankan keluar masuk dan yang
bertujuan mengajukan kepentingan kebendaan para anggotanya dengan jalan
mengadakan usaha dalam lapangan ekonomi demi kesejahteraan bersama.
BAB
5
ASAS-ASAS
HUKUM TATA NEGARA
A. Pengertian
Negara dan Proklamasi
Logemann mendefinisikan :” Negara
adalah sesuatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya
mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat”.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 adalah sumber Hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan RI.
Pengertian Proklamasi dalam garis besarnya adalah:
1.
Lahirnya Negara Republik
Indonesia.
2.
Puncak Perjuangan Pergerakan
kemerdekaan, setelah berjuang berpuluh-puluh tahun.
3.
Titik tolak dari pelaksanaan
Amanat penderita Rakyat.
B.
Unsur-unsur Negara
Suatu Negara dalam bentuk lahirnya
akan menampakan dirinya sebagai:
1. Daerah atau
wilayah.
2. Masyarakat.
3. Penguasa
tertinggi.
Disamping
tiga unsur diatas ada sarjana yang menambah satu unsure lagi yaitu pengakuan
dari Negara lain.
Asas
Kewarganegaraan
Adapun
asas-asas kewarganegaraan yang mula-mula dipergunakan sebagai dasra untuk
menentukan seseorang masuk warga suatu Negara, didasarkan kepada:
1. Asas keturunan
atau Ius sanguinis.
2. Asas tempat
kelahiran atau Ius Soli.
Didalam
menentukan kewarganegaraan itu dipergunakan dua stelsel kewarganegaraan,
disamping asas-asas tersebut diatas. Stelsel tersebut adalah stelsel aktif
yaitu menurut stelsel ini orang harus melakukan tindakan hukum tertentu secara
aktif untuk menjadi warga Negara, sedangkan stelsel pasif yaitu menurut stelsel
pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warga Negara tanpa melakukan
suatu tinadakan hukum tertentu.
Sehubungan
dengan kedua stelsel itu harus dibedakan hak opsi yaitu hak untuk memilih suatu
kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) dan hak repudiasi yaitu hak untuk menolak
suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).
C. Sistem
Pemerintahan Negara
System pemerintahan Negara yang
terdapat dalam penjelasan UUD 1945 ditegaskan sebagai berikut:
1.
Indonesia ialah Negara yang
beradasrkan Hukum (rechstaat). Negara Indonesia berdasarkan hokum tidak
berdasarkan kekuasaan belaka.
2.
System konstitusional, pemerintah
berdasarkan atas system konstitusional (hokum dasar), tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan tidak tak terbatas).
3.
Kekuasaan Negara yang tertinggi
berada ditangan MPR.
4.
Presiden ialah penyelenggara
pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majlis.
5.
Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR.
6.
Menteri Negara ialah pembantu
presiden, menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7.
Kekuasaan kepala Negara tidak tak
terbatas.
D. Asas
Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
menentukan pembagian wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 itu
antara lain berbunyi:” Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Sebagai pelaksana Pasal 18 UUD 1945
adalah Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan didaerah. Menurut
Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan daerah
yang lebih mengutamakan pelaksanaan desentralisasi. Ada tiga asas yang berlaku
yaitu:
1.
Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
perangkat pusat didaerah.
3.
Tugas pembantu adalah penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk
melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
BAB
6
ASAS-ASAS
HUKUM PIDANA
A. Sejarah
Hukum Pidana
Sumber hukum pidana yang
digunakan sekarang ini masih menggunakan kodifikasi yang berasal dari zaman
Hindia Belanda Wetboek van Strafrecht. Pada zaman Hindia Belanda untuk hukum
pidana, berbeda dalam hokum perdata, telah ada unifikasi untuk semua golongan
penduduk. Unifikasi ini tercapai pada tanggal 1 januari 1918. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana/WvS ini merupakan salinan dari WvS Belanda yang
selesai dibuat tahun 1881 dan berlaku mulai tahun 1886.
Sebelum tahun 1918, dalam hokum
Pidana ada dualisme bagi golongan Eropa, ada Wvs untuk golongan Eropa disamping
ada Wvs untuk golongn Bumi Putera. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berlaku setelah kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 adalah juga kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Warisan zaman Hindia Belanda dengan
perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946.
Dalam perjalanan sejarah, di
Indonesia pernah terjadi seolah-olah pada waktu itu ada dua (KUHP karena
pemerintah Hindia Belnda yang kembali lagi masuk Indonesia dengan membonceng
sekutu dan menduduki daerah Jakarta dan sekitarnya, telah mengadakan
perubahan-perubahan yang dimuat dalam stb. 1945 Nomor 135 yang berlaku untuk
daerah Jakarta dan sekitarnya. Dengan didudukinya Jakarta oleh Belanda, pusat
pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Pemerintah RI yang berkedudukan di
Yogyakarta mengadakan perubahan terhadap WvS warisan Belnda yang kita gunakan
melalui Pasal II Aturan Peralihan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang
berlaku untuk daerah RI selain yang diduduki oleh Belanda.
Pada waktu pemerintahan Hindia
Belanda berhasil kita usir, maka oleh Pemerintahan RI diundangkan Undang-Undang
nomor 73 tahun 1958 (LN. No. 127 tahun 1958), yang antara lain menyatakan bahwa
Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian, mulai tahun 1958 keseragaman dalam Hukum Pidana tercapai lagi.
B. Asas
Legalitas
Asas ini tercantum dalam Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi sebagai berikut:” Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangn yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Nullum Delictum nulla poena sine praevia
lege poenali, asas ini oleh beberapa ahli disebut asas legalitas. Rumusan nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini berasal dari sarjana anselm
von Feuerbach. Maksud teori Feurbach ini adalah membatasi hasrat manusia untuk
berbuat kejahatan, sehingga ancaman hukuman itu bersifat preventif. Teori von
Feurbach ini diberi nama teori paksaan psikologis (psychologische dwang).
C. Pembagian
Hukum Pidana
Hukum Pidana dapat dibagi yaitu Hukum pidana Objektif (ius Punale)
adalah semua peraturan yang mengadung keharusan atau larangan, yang
pelanggarannya diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan. Hukum pidana
Objektif ini yang terdiri dari hukum
pidana Formil atau disebut juga hukum Acara Pidana, memuat peraturan-peraturan
tentang bagaimana memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Materiil. Hukum
Pidana Materiil mengatur apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum. Dapat
dikatakan Hukum Pidana materiil mengatur rumusan dari kejahatan dan pelanggaran
serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Subjektif (Ius
Puniendi), yaitu hak Negara atau alat perlengkapannya untuk menghukum seseorang
berdasarkan hukum Pidana.
D. Peristiwa
Pidana/ Delik/ Tindak Pidana
Istilah peristiwa pidana atau delik
atau tindak pidana mempunyai arti tindakan manusia yang memenuhi rumusan
undang-undang bersifat melawan hokum dan dan dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggung jawabkan. Peristiwa pidana ini mempunyai du segi yaitu segi
objektif yang menyangkut kelakuan yang bertentangan dengan hukum dan segi
subjektif yang menyangkut pembuat/ pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan atas
kelakuan yang bertentangan dengan hukum.
Kepada perbuatan yang tidak memenuhi
salah satu unsure dapat dipidana karena adanya alasan penghapus pidana yang
terdiri dari alasan pemaaf, apabila pelakunya tidak dapat dipertanggung
jawabkan misalnya orang gila yang melakuakn pembunuhan dan alasan pembenar
apabila perbuatannya tidak bersifat melawan hukum misalnya algojo yang
melakukan tugasnya mengeksekusikan pidana mati.
E. Kejahatan
dan Pelanggaran
Pembedaan yang bersifat kualitatif,
kejahatan adalah delik hokum (recht delict), yaitu perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terlepa apakah perbuatan itu diancam dengan pidana dalam satu
undang-undang atau tidak, jadi benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
bertentangan dengan keadilan, misalnya pembunuhan.
Pelanggaran
adalah delik undang-undang (wet delict), yaitu perbuatan yang oleh umum baru
disadari bahwa dapat dipidana karena Undang-Undang menyebutnya sebagai delik,
jadi karena undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misalnya membuang sampah
dijalan.
Perbedaan
yang bersifat kuantitatif, pembedaan ini dapat dilihat dari segi kriminologi,
yaitu kalau pelanggaran ancaman pidananya lebih ringan dibandingkan dengan
kejahatan.
F. Tujuan
Pemindahan Pidana
Dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana diatur dua macam hukuman, yaitu:
1.
Hukuman pidana pokok, yaitu
hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman yang lain seperti hukuman
mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda uang.
2.
Hukuman Pidana tambahan, yang
harus dijatuhkan bersama dengan pidana/ hukuman pokok terdiri dari pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan diumumkannya keputusan
hakim.
Mengenai dasar pembenaran penjatuhan pidana ada tiga teori yaitu
berdasarkan teori absolute, teori relative, dan teori gabungan. Menurut teori
absolute tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum pidana itu sendiri. Barang
siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhi hukuman/pidana.
Sedang menurut teori relative tujuan pemidaan adalah untuk mencegah terjadinya
kejahatan, menakut-nakuti sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan, untuk
memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana, dan memberikan perlindungan
kepada masyarakat terhadap kejahatan. Menurut teori gabungan, yang merupakan
kombinasi antara teori absolute dan relative, tujuan penjatuhan pidana karena
orang tersebut melakukan kejahatan dan agar ia jangan melakukan kejahatan lagi.
G. Penafsiran
Undang-aundang Pidana
Didalam buku I title IX Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dimuat penafsiran-penafsiran yang hanya berlaku
terhadap perkataan-perkataan yang tercantum didalam KUHP, jadi penafsiran itu
tidak berlaku terhadap perkataan dalam aturan pidana yang ada diluar KUHP.
BAB
7
ASAS
HUKUM ACARA PERDATA
ASAS
HUKUM ACARA PIDANA
ASAS
HUKUM ACARA PERADILAN DAN TATA USAHA NEGARA
A. Hukum
Acara Perdata
Hukum acara Perdata disebut juga Hukum
Perdata Formil, yaitu aturan-aturan hokum yang mengatur cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana pengadilan
itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Pada tiap-tiap perkara perdata yang
diperiksa dimuka pemgadilan, sekurang-kurangnya ada dua belah pihak yang
berhadapan satu sama lain, yaitu penggugat dan tergugat. Penggugat adalah pihak
yang mulai membuat perkara, sedang tergugat adalah pihak yang oleh pihak
penggugat ditarik kemuka pengadilan.
Adanya suatu perkara perdata,
tergantung pada inisiatif penggugat yaitu dimulainya pengajuan surat oleh
penggugat atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya
tergugat bertempat tinggal (pasal 118 HIR). Pengajuan gugatan pada prinsipnya
harus tertulis, namun kalau penggugat seorang yang buta huruf dapat disampaikan
secara lisan lalu ketua memerintahkan untuk menuliskannya.
Kemudian kedua belah pihak dipanggil
oleh Hakim menghadap kesidang pada hari dan jam yang telah ditentukan oleh
hakim. Apabila kedua belah pihak telah hadir pada harai yang ditentukan, hakim
akan membuka sidang. Mula-mula dalam sidang itu hakim akan mendamaikan kedua
belah pihak yang bersengketa. Jika
perdamaian tercapai maka dibuatlah akte perdamaian yang isinya harus
dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Jika perdamaian tidak tercapai, maka hakim
meneruskan perkararanya.
Pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan adalah bersifat terbuka. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 19
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedang keputusan hakim juga harus diucapkan
dalam sidang terbuka, seperti yang diatur dalam Pasal 20 undang-Undang Nomor 4
tahun 2004.
Dalam perkara perdata hal-hal yang
harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak
lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hukum acara perdata,
yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu dibuktikan.
Selama pemeriksaan masing-masing
pihak diperkenankan mengajukan saksi-saksi ataupun bukti-bukti untuk menguatkan
kebenarannya. Sebelum memberikan kesaksian para saksi harus mengangkat sumpah
terlebih dahulu (undang-undang juga harus mengatur siapa-siapa yang tidak boleh
menjadi saksi).
Didalam Hukum Acara Perdata dikenal
adanya 5 macam alat pembuktian yaitu bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan
(dugaan), pengakuan, dan sumpah.
Setelah hakim selesai mendengarkan
dan mempertimbangkan segala sesuatu berkenaan dengan perkara tersebut
(keterangan-keterangan dari kedua belah pihak yang berperkara, saksi-saksi dan
bukti-bukti yang dikemukakan dalam persidangan), maka sampailah kepada
keputusan hakim tentang siapa yang menang. Kalau penggugat menang, berarti
gugatan diterima yang berakibat tergugat dikalahkan. Begitu pula sebaliknya,
bila penggugat kalah berarti gugatan tidak diterima dan tergugat menang. Gugatan
diterima atau tidak diterima ini dapat seluruhnya, tapi dapat juga hanya
sebagian. Yang kalah diwajibkan membayar ongkos perkara.
Putusan pengadilan ini baru dapat
dilaksanakan kalau putusan ini sudah mempunyai kekuatan hukum (in kracht van
gewijsde), yang berarti kedua belah pihak telah menerima putusan tersebut dan
tidak mengajukan upaya hokum lagi.
Hakim dapat mengadili dan memutuskan
suatu perkara tanpa hadirnya tergugat dalam hal tergugat telah dipanggil dengan
sepatutnya tetapi tidak hadir tanpa satu alas an yang sah. Putusan ini disebut
verstek. Terhadap putusan ini yang biasanya merugikan, tergugat dapat
mengajukan keberatan/ perlawanan yang disebut verzet , yang diajukan kepada
hakim yang memeriksa perkara tersebut dalam tingkat pertama. Putusan verstek
tidak dapat dibanding.
Banding, verzet dan kasasi itu
merupakan upaya hokum terhadap putusan hakim yaitu suatu upaya atau alat untuk
mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan.
B. Hukum
Acara Pidana
Hukum acara Pidana disebut juga
Hukum Pidana Formiil adalah keseluruhan aturan hukum mengenai cara melaksanakan
ketentuan Hukum Pidana jika ada pelanggaran terhadap norma-norma yang dimaksud
oleh ketentuan ini.
Pemeriksaan dalam hukum acara pidana
adalah sebagai berikut:
1.
Pemeriksaan pendahuluan
(vooronderzoek).
2.
Pemeriksaan terakhir
(eindonderzoek) didalam sidang Pengadilan pada tingkat pertama.
3.
Memajukan upaya hukum
(rechtmiddelen) yang dapat dijalankan terhadap putusan hakim, baik ditingkat
pertema maupun pada tingkat banding.
4.
Pelaksanaan putusan Hakim.
Dalam
pemeriksaan pendahuluan ini dikumpulkan bahan-bahan yang mungkin dapat menjadi
bukti terjadinya pelanggaran atau kejahatan. Jumlah dan sifat bahan-bahan ini
menentukan apakah si tertuduh akan dituntut atau tidak. Dalam pemeriksaan
pendahuluan dipergunakan sebagai pedoman asas-asas sebagai berikut:
1.
Asas kebenaran materiil (kebenaran
dan kenyataan), yaitu usaha-usaha yang ditujukan untuk mengetahui apakah
benar-benar terjadi pelanggaran atau kejahatan.
2.
Asas inquisitoir, yaitu bahan
dalam pemeriksaan pendahuluan ini si tertuduh/ si tersangka hanyalah merupakan
objek.
Pemeriksaan
dalam sidang bertujuan untuk menguji apakah suatu tindak pidana betul-betul
terjadi atau apakah bukti-bukti yang diajukan itu sah atau tidak. Berlainan
dengan pemeriksaan pendahuluan, maka pada pemeriksaan dalam sidang terdakwa/
tertuduh telah dianggap sebagai subjek yang berarti telah mempunyai kedudukan
sebagai pihak yang sederajat dengan penuntut umum. Sifat pemeriksaan ini adalah
accusatoir.
Setelah pemeriksaan alat-alat bukti
selesai, maka tiba saatnya Jaksa membacakan tuntutanya (requisitoir), dan
setelah jaksa membacakan tuntutanya, tiba giliran terdakwa membacakan pledoi
dan kesempatan berikutnya ada pada jaksa membacakan pledoi dan kesempatan
berikutnya ada pada jaksa membacakan replik. Kemudian kesempatan berikutnya
terdakwa membacakan dupliknya. Kesempatan diberikan kepada kedua belah pihak
jaksa dan terdakwa sampai kedua belah pihak puas. Setelah hakim memperoleh
keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran perkara tersebut, maka
Hakim akan mempertimbangkan hukuman apa yang akan dijatuhkan. Keputusan hakim
(vonis) dapat berupa:
1.
Putusan yang mengandung pembebasan
terdakwa (vrijspraak), dalam hal ini perbuatan yang dituduhkan jaksa tidak
terbukti.
2.
Putusan yang mengandung pelepasan
terdakwa dari segala tuntutan (ontslag van rechtvervolging), dalam hal ini
perbuatan yang dituduhkan jaksa terbukti tetapi bukan merupakan kejahatan
ataupun pelanggaran.
3.
Putusan yang mengandung
penghukuman.
Sesudah
perkara diputus oleh hakim, maka apabila jaksa atau terdakwa tidak puas
terhadap putusan hakim, mereka dapat mengajukan upaya hukum dalam hal ini dapat
banding ke Pengadilan Tinggi. Kalau keputusan Pengadilan Tinggi belum
memuaskan, dapat minta kasasi kepada Mahkamah Agung.
Jika
keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hokum tetap, artinya sudah tidak
dapat diajukan perlawanan lagi, maka keputusan itu dapat dilaksanakan dan ini
merupakan tugas Jaksa untuk mengeksekusikan atau melaksanakan keputusan Hakim.
C. Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 menyebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan:
1.
Peradilan Umum,
2.
Peradilan Agama,
3.
Peradilan Militer,
4.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Hukum
acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan acara yang digunakan
pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan antara lain
adalah:
1.
Pada PTUN Hakim berperan lebih
aktif dalam proses persidangannya guna memperoleh kebenaran material dan untuk
itu undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas.
2.
Suatu gugatan Tata Usaha Negara
pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan TUN yang
disengketakan.
3.
Kedudukan penggugat dan tergugat
pada PTUN akan tetap sama sampai tingkat kasasi tidak dimungkinkan adanya gugat
balik, sehingga tidak ada penggugat tau tergugat rekonvensi.
4.
Pada PTUN pengajuan gugatan diberi
batas waktu yaitu 90 (sembilan puluh) hari.
Wewenang
PTUN adalah mengadili sengeketa Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum
Privat (sebagai penggugat dengan badan atau Pejabat TUN).
Menurut
pasal 1 butir ke-3 UU No. 5 tahun 1986, dikatakan bahwa objek atau pangkal
sengketa Tata Usaha Negara adalah:” Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat tata Usaha Negara
yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan
tindakan hukum tata usaha yang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seorang atau badan hukum perdata”.
Dalam pasal 53 ayat (1) ditegaskan
bahwa:” Seorang atau badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan oleh suatu
keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang
disengeketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi/ atau rehabilitasi.
Gugatan diajukan kepada pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Pengajuan gugatan sengketa tata usaha Negara sama pada perkara perdata pada
pengadilan umum. Gugatan harus memuat: nama, kewarganegaraan, tempat tinggal,
dan pekerjaan penggugat atau kuasanya; nama jabatan, tempat kedudukan tergugat;
dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan.
Sebelum pemeriksaan pokok perkara,
dilakukan lebih dahulu rapat permusyawaratan (pasal 62), dimana ketua
pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan, bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.
Sebelum pemriksaan pokok dimulai,
hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan (pasal 63) untuk melengkapi
gugatan yang kurang jelas.
Penetapan
hari Sidang (pasal 59 ayat 3, pasal 64), selambat- lambatnya dalam jangka waktu
tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menntukan hari, jam, dan tempat
persidangan serta menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir.
Setelah
kedua belah pihak dipanggil menghadap, maka hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakannya terbuka untuk umum., apabila majlis hakim memandang bahwa
sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan Negara,
persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Pemeriksaan
dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat jawabannya oleh hakim, dan jika
tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawaban.
Alat
bukti yang dikenal dalam Hukum Acara PTUN seperti surat atau tulisan,
keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan Hakim.
Beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Dalam
hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan dan kedua belah pihak diberi
kesempatan mengemukakan pendapatnya yang terakhir berupa kesimpulan, maka
tibalah hakim memberikan putusan. Putusan hakim itu (pasal 97 ayat 7) dapat
berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima dan gugatan
gugur).
Hanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap yang dapat dilaksanakan.
Permohonan
pemeriksaan Bnading diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya dalam
tenggang waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan
kepadanya secar sah.
Terhadap
putusan tingkat akhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
BAB
8
ASAS-ASAS
HUKUM KETENAGAKERJAAN/ PERBURUHAN
A. Pengertian
Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan adalah himpunan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan
pemberi pekerjaan/ majikan, dan yang mengatur penyelesaian perselisihan antara
pekerja dan majikan. Hubungan kerja ini berdasarkan asas bahwa pekerja/buruh
diberi upah untuk pekerjaan yang dilakukannya bagi majikannya.
Dalam rumusan pengertian perburuhan
dikatakan bahwa buruh adalah orang yang melakukan pekerjaan pada orang lain,
melakukan pekerjaan pada orang lain berarti melakukan pekerjaan dibawah
pimpinan pihak lain.
B. Subjek
Hukum Perburuhan
Yang menjadi subjek hokum perburuhan
adalah:
1.
Orang-orang atau buruh dan
majikan,
2.
Organisasi perburuhan, organisasi
majikan, dan organisasi buruh,
3.
Badan-badan resmi,
4.
Organisasi perburuhan sedunia
(ILO), walaupun tersangkut secara tidak langsung.
C. Perjanjian Kerja dan Perjanjian Perburuhan
Hubungan antar buruh dan majikan,
disebut hubungan kerja, terjadi setelah diadakan perjanjian eleh buruh dengan
majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan
dengan menerima upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan
buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja, yaitu hak dan
kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Dalam hubungan kerja antara majikan
dan buruh, dapat terjadi pemutusan hubungan kerja. Ada empat macam pemutusan hubungan
kerja yaitu:
1.
Pemutusan hubungan kerja oleh
majikan,
2.
Pemutusan hubungan kerja oleh
buruh,
3.
Pemutusan hubungan kerja oleh
pengadilan atas permohonan buruh atau majikan,
4.
Pemutusan hubungan kerja oleh
karena hukum, dalam hal ini jika perjanjian kerja itu telah selesai masa
berlakunya.
D.
Sumber-Sumber Hukum Perburuhan
Sebagai sumber Hukum Perburuhan pada
saat sekarang seperti pada hukum-hukum yang lain, masih ada digunakan beberapa
peraturan yang berasal dari zaman colonial Belanda, misalnya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan.
Namun kita sudah mempunyai
peraturan-peraturan yang merupakan produk nasional, antara lain:
1.
UU No. 33 Tahun 1974, tentang UU
Kecelakaan.
2.
UU No. 23 Tahun 1948 tentang
Pengawasan Perburuhan.
3.
UU No. 12 Tahun 1948, tentang
Undang-Undang Kerja.
4.
UU No. 22 Tahun 1957 tentang
penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
5.
UU No. 12 Tahun 1946 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
6.
UU No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.
7.
UU No. 25 Tahun 1997 tentang
ketenagakerjaan.
8.
Penetapan Presiden RI Nomor 7
Tahun 1963 tentang pencegahan Pemogokan dan/ atau penutupan (lock out) diperusahaan-perusahaan,
jawatan-jawatan, dan badan-badan vital.
9.
UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
BAB
9
ASAS-ASAS
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Istilah
dan Pengertian
Hukum Administrasi Negara ini
menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para
pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann).
Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan
masyarakat, pengajaran, dan lain-lain.
Administarsi Negara memerlukan
peraturan-peraturan yang lebih memaksa daripada Hukum Privat, karena tidak
semua orang cenderung secar sukarela menaati perintah Administrasi Negara
apabila perintah tersebut dikeluarkan berdasarkan Hukum Privat. Hukum
Administrasi Negara lebih memaksa supaya penyelenggaraan kepentingan umum lebih
terjamin.
B.
Freies Ermenssen dan Detournement de Pouvoir
Agar alat perlengkapan Negara, dalam
hal ini organ Administrasi Negara dapat menjalankan tugas menyelenggarakan
kesejahteraan umum secara baik, maka Administrasi Negara memerlukan kemerdekaan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam menyelesaikan
masalah-masalah penting yang timbul dengan sekonyong-konyong, yang peraturan
penyelesaiannya belum ada, atau belum dibuat oleh badan Legislatif. Kemerdekaan
tersebut disebut Freies Ermenssen.
Apabila suatu alat perlengkapan
Negara yang diberi kewenangan tertentu, tidak mempergunakan wewenangnya sesuai
dengan tujuan yang telah diberikan oleh peraturan yang menjadi dasarnya, dapat
dikatakan bahwa alat perlengkapan itu telah melakukan “ Detournement de
Pouvoir”. Detournement de Pouvoir ini sering terjadi, akibat suatu Freies
Ermenssen yang disalah gunakan.
C.
Peraturan dan Ketetapan
Ketetapan ini merupakan perbuatan
pemerintah/ Administrasi Negara yang bersegi satu, dimana telah menimbulkan
akibat hukum dengan dikeluarkannya ketetapan oleh pihak Administrasi Negara
tanpa menunggu reaksi dari yang dikenai ketetapan. Bedanya dengan peraturan
adalah ketetapan dibuat untuk menyelesaikan suatu hal yang konkrit, yang telah
diketahui lebih dahulu oleh pihak Administrasi Negara, sedang peraturan dibuat
untuk menyelesaikan hal-hal yang belum diketahui lebih dahulu, tapi mungkin
akan terjadi. Peraturan ditujukan pada hal-hal yang masih bersifat abstrak.
BAB
10
ASAS-ASAS
HUKUM ADAT
A. Istilah
Istilah Hukum Adat dalam pengertian
Hukum Hindia Belanda adalah ciptaan Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, namun baru
dikenal sebagai pengertian teknis Yuridis dan sebagai objek ilmu pengetahuan
Hukum positif setelah diperkenalkan oleh prof. Cornelis van Vollenhoven yang
dikenal sebagai bapak hukum adat.
Hukum adat adalah keseluruhan aturan
tiongkah laku yang “adat” dan sekaligus “hukum” pula. Dengan demikian Hukum
adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tidak tertulis (sebagian kecil saja
yang bersifat tertulis).
B. Sifat
Hukum Adat
Sifat Hukum adat aadalah
pluralistis, artinya banyak macam jenisnya dan berlainan untuk berbagai suku
bangsa dan berbagai daerah, jadi tidak bersifat uniform.
C. Tipe
Masyarakat dan Susunan Hukum Kekeluargaan
Didalam masyarakat adat dikenal 3
macam tipe masyarakat hokum, yaitu:
1.
Tipe masyarakat hukum yang
genealogis, yaitu masyarakat hokum yang berdasarkan atas pertalian darah,
misalnya masyarakat hukum Toraja.
2.
Tipe masyarakat hukum teritolial,
yaitu masyarakat hukum yang berdasarkan/ bertalian dengan tempat tinggal atau
daerah, misalnya masyarakat hukum Aceh.
3.
Tipe masyarakat
genealogis-teritolial, pertalian masyarakat disini disamping pertalian darah,
juga berdasarkan daerah/ wilayah.
Dalam
susunan hukum kekeluargaan dari masyarakat hukum adat, dikenal 3 golongan
yaitu:
1.
Susunan hukum kekeluargaan yang
patrilineal adalah susunan yang mengikuti garis keturunan bapak.
2.
Susunan hukum kekeluargaan yang
bersifat matrilineal dimana susunan hokum kekeluargaannya mengikuti garis
keturunan ibu.
3.
Susunan hukum yang bersifat
parental, disini susunannya mengikuti garis keturunan dari pihak bapak maupun
ibu.
D. Hukum
Tanah
Dalam hukum tanah,
perjanjian-perjanjian jual beli dapat mengandung tiga jenis maksud yaitu:
1.
Menyerahkan tanah untuk menerima
pembayaran tunai sejumlah uang, sedemikian rupa sehingga orang yang menyerahkan
tetap ada hak atas kembalinya lagi tanah itu kepadanya dengan jalan membayar
kembali sejumlah uang yang sama. Di Minangkabau disebut menggadai, di Jawa
disebut adol sende, di Sunda disebut ngajual akad.
2.
Menyerahkan tanah untuk menerima
tunai pembayaran uang tanpa hak menebusnya, jadi buat selama-lamanya.
3.
Menyerahkan tanah untuk menerima
tunai pembayaran uang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada
pemiliknya tanpa perbuatan-perbuatan hokum lagi, yaitu sesudah berlaku beberapa
tahun panenan (menjual tahunan).
BAB
11
ASAS-ASAS
HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengertian Hukum Internasional
Hukum ini sering disebut Hukum Antar
Negara, atau dengan istilah yang digunakan oleh Prof. Kranenburg, yaitu
“tussenstaatsrecht”, hukum yang diadakan untuk mengatur pergaulan antara
Negara-negara yang berdaulat dan merdeka.
J.G Starke dalam bukunya An
Introduction to International Law, memberikan definisi “ Hukum Internasional
dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum yang sebahagian besar terdiri dari
asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negar-negara, dank
arena itu ditaati dalam hubungan negar-negara”.
B. Subjek
Hukum International
1.
Negara yang diakui sebagai subjek
Hukum International hanyalah Negara yang berdaulat, Negara yang tidak
tergantung pada Negara lain.
2.
Gabungan Negara, ini bertindak
dalam pergaulan antar negara-negara sebagai kesatuan, seperti dulu ada
Duitse Bond.
3.
Organisasi-organisasi
Internasional misalnya Liga Bangsa-Bangsa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dll.
4.
Kursi Suci (Heilige Stoel) yang
dimaksud dengan kursi suci adalah Gereja Katholik Roma yang diwakili oleh Paus.
Walaupun kursi suci bukanlah suatu Negara namun dianggap sebagai Negara.
5.
Manusia, mengenai manusia sebagai
subjek hukum dari Hukum Internasional disamping Negara, masih banyak yang belum
dapat menerima, tetapi pendapat makin lama makin diterima umum.
C. Sumber Formil Hukum Internasional
Sumber
formil Hukum Internasional terdapat dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah
Internasional. Dapat dikatakan bahwa sumber formil dari Hukum Internasional
adalah:
1.
Traktat (perjanjian
Internasional).
2.
Kebiasaan Internasional.
3.
Asas-asas hukum umum yang diakui
oleh “Civilized nations”.
4.
Yurisprudensi Internasional (dari
peradilan internasional).
5.
Anggapan- anggapan para ahli hukum
internasional.
D. Struktur
dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional
Struktur hukum internasional berbeda
dengan struktur hukum nasional yang mempunyai kekuatan eksekutif pusat, yang
melalui jalan hukum secara efektif dapat memaksa para anggotanya untuk menaati
peraturan-peraturannya.
Yang menjadi dasar berlakuanya hukum
internasional adalah anggapan mengenai hukum internasional itu. Anggapan yang
pertama ialah bahwa suatu perjanjian yang dibuat harus diataati. Anggapan ini
kemudian menjadi asas dalam hukum internasional, yaitu asas Pacta Sunt
Servanda, artinya setiap perjanjian harus ditaati. Anggapan yang kedua adalah
bahwa hukum internasional itu derajadnya lebih tinggi dari hukum nasional.
Disebut dengan asas Primat Hukum Internasional.
E. Isi Hukum
Internasional
Hukum Internasional terdiri dari
hukum damai yang mengatur hubungan antara Negara-negara diwaktu damai, dan
hukum perang yang memuat aturan-aturan tentang hubungan antar Negara-negara
yang berperang dan menentukan juga larangan-larangan mengenai cara berperang.
Hukum kenetralan mengatur hak-hak
dan kewajiban-kewajiban timbale balik antara negar-negara yang berperang dengan
Negara-negara yang netral.
F. Menerima
dan Menempatkan Perwakilan
Hukum damai diantaranya mengatur
hubungan Negara yang satu dengan yang lain dimasa damai. Tiap-tiap Negara
mempunyai hak untuk mengadakan hubungan luar negeri. Hubungan luar negeri
dilakukan oleh dua perwakilan, yaitu:
1.
Perwakilan diplomatic, tugasnya
adalah tugas politik, yaitu menjalankan politik Negara yang diwakili meliputi
kegiatan-kegiatan diantaranya: (a) memlihara kepentingan negaranya diluar
negeri, guna menyelesaikan tiap perselisihan secara damai, (b) melindungi warga
negaranya diluar negeri, (c) menjadi perantara dalam mtuntutan/ tuduhan dari
negaranya kepada Negara yang ditempati. Tugas perwakilan diplomatic ini
dibebankan kepada seorang duta, tiap Negara mempuanyai hak untuk menerima dan
menempatkan seorang duta.
2.
Konsuler adalah wakil Negara yang
mempunyai tugas memperhatikan kepentingan warga negaranya diluar negeri
mengenai keadaaan social ekonomi. Konsul tidak mempunyai tugas politik seperti
tugas duta. Konsul tidak mempunyai suatu kepercayaan, mereka hanya mempunyai
surat pengangkatan (letter de provision).
3.
Perwakilan lainnya ada yang
disebut atase, ada dua macam. Atase yang dikirim oleh Departement Luar negeri
dan merupakan perwakilan terendah. Dan atase yang dikirim oleh departemen
lainnya, misalnya atase pers, yang dikirim oleh departemen penerangan.
BAB
12
ASAS-ASAS
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
A. Pengertian
Hukum Perdata Internasioanl
Dapat dikatakan bahwa Hukum perdata
internasional adalah sekumpulan peraturan yang mengatur peraturan apa yang
menjadi peraturan hukum atau peraturan mana yang berlaku mengenai hubungan
hukum yang diadakan oleh dua atau lebih orang yang tunduk pada tata hukum yang
berbeda.
B. Peraturan-
peraturan Hukum Perdata Internasional
Peraturan-peraturan hukum perdata
Internasional terdiri atas dua golongan yaitu:
1.
Peraturan-peraturan petunjuk
(verwijsingsregels, “hukum mana”), yaitu peraturan yang menunjuk hukum nasional
mana yang akan mengatur hubungan yang bersangkutan.
2.
Peraturan-peraturan asli atau
peraturan-peraturan sendiri (eigen regels, hukum apa), ialah peraturan yang
memberikan penyelesaian sendiri. Peraturan sendiri ini tidak menunjuk pada
hukum nasional mana yang akan mangaturnya, tetapi mengatur sendiri.
C. Kedudukan
Istri dalam Hukum Perdata Internasional
Seorang istri dalam Hukum Perdata
Internasional mengikuti kebangsaan suaminya. Menurut hukum perdata internasional
tidak dibenarkan apabila dalam perkawinan si istri mempertaankan
kewarganegaraanya.
BAB
13
ASAS-ASAS
HUKUM AGRARIA
A. Pengertian
Hukum Agraria
Hukum Agraria ialah keseluruhan
kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
agraria. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya.
B.
Undang-undang nomor 5 tahun 1960
UUPA no. 5 tahun 1960 ini
berdasarkan hukum adat, dan hak-hak atas tanah yang dikenal dalam hukum
agrarian nasional kita adalah:
1.
Hak milik
2.
Hak guna usaha
3.
Hak guna bangunan
4.
Hak pakai
5.
Hak sewa
6.
Hak membuka tanah
7.
Hak memungut hasil hutan
8.
Hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Sedang
hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) UU
no. 5 tahun 1960, ialah:
1.
Hak guna air,
2.
Hak pemeliharaan dan penangkapan
ikan,
3.
Hak guna ruang angkasa.
Kalau
kita melihat UUPA No. 5 tahun 1960 ini, ada asas-asas yang terkandung
didalamnya sebagai berikut:
- Hak menguasai ada pada Negara.
- Dasarnya adalah hukum adat.
- Pengakuan terhadap hak ulayat.
- Adanya fungsi social hak atas tanah.
- Tidak membedakan sesama warga Negara Indonesia, juga tidak membedakan laki-laki dengan perempuan, dalam hal pemilikan tanah.
- Tanah pada dasarnya harus dikerjakan secara aktif.
- Pemegang hak wajib memelihara tanah.
BAB
14
ASAS-ASAS
HUKUM PAJAK
A. Pengertian
Pajak
Pajak adalah iuran kepada Negara
yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (wajib pajak) berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali secara
langsung.
Fungsi pajak itu adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.
Negara atau pemerintah dalam
memungut pajak harus berdasarkan undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dalam
ketentuan pasal 23 UUD 1945 yang isinya sebagai berikut:” segala pajak untuk
keperluan Negara berdasarkan undang-undang”.
B.
Jenis-jenis Pajak
Pajak-pajak yang dipungut oleh
pemerintah dapat digolong-golongkan sebagai berikut, dilihat dari instansi
pemungutannya dapat dibagi menjadi:
1.
Pajak daerah, pajak yang dipungut
oleh daerah-daerah tingkat I, provinsi, atau daerah tingkat II.
2.
Pajak pusat, adalah pajak yang
dipungut oleh pemerintah pusat, penyelenggaraannya dilakukan oleh kantor pelayanan
pajak, untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya.
3.
Pajak langsung, ialah pajak-pajak
yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang
lain.
4.
Pajak tak langsung, ialah
pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikan harga, karena akhirnya ditanggung
oleh pembeli dan pajak tersebut baru terhutang jika terjadi hal-hal yang
menyebabkan terhutang pajak.
C. Timbulnya
Kewajiban Pajak
Kewajiban pajak objektif ialah
kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dapat dikenakan pajak
(objektif). Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban pajak yang melihat pada
orang/ badan hukumnya.
Seorang wajib pajak dapat mengajukan
keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak, atas suatu:
1.
Surat pemberitaan,
2.
Surat ketetatapan pajak,
3.
Surat ketetapan pajak tambahan,
4.
Surat keputusan kelebihan
pembayaran,
5.
Pemungutan atau pemungutan oleh
pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
BAB
15
PERADILAN
Pada zaman Hindia Belanda ada lima
buah tatanan peradilan:
1.
Tatanan peradilan Gubernemen, yang
mleiputi seluruh daerah Hindia Belanda.
2.
Ada bagian-bagian Hindia Belanda,
dimana rakyatnya dibiarkan menyelenggarakan peradilan sendiri, yang mengadili
menurut tatanan peradilan pribumi.
3.
Peradilan Swapraja didaerah
swapraja.
4.
Peradilan agama yang terdapat baik
dibagian-bagian Hindia Belanda dimana semata-mata ada peradilan agama merupakan
bagian dari peradilan pribumi atau didalam daerah-daerah swapraja sebagai
bagian dari peradilan swapraja.
5.
Peradilan desa didalam masyarakat
desa.
Masa
Pendudukan Jepang (1942 – 1945)
Setelah
balatentara Jepang menguasai pulau Jawa, dikeluarkanlah undang-undang
Balatentara Jepang tanggal 8 maret 1942 no. 1 yang menentukan bahwa sementara
segala peraturan-peraturan dari pemerintah Belanda terus masih berlaku asal
tidak bertentangan dengan peraturan balatentara jepang.
Untuk
peradilan sipil, dengan undang-undang No. 14 tahun 1942 ditetapkan “ Peraturan
Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai Nippon” yang akan mengadili perkara
perdata maupun perkara pidana, juga pada waktu itu dibentuk kejaksaan.
Pengadilan-pengadilan
yang didirikan merupakan lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada,
kekuasaannya tidak berubah kecuali ada beberapa pengadilan yang dihapuskan.
Pengadilan-pengadilan
ini adalah:
1.
Gun Hooin (Pengadilan Kawedanaan),
2.
Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten),
3.
Keizei Hooin (pengadilan
Kepolisian),
4.
Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri).
Dengan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 1942, yang mengatur kembali susunan pengadilan
sipil, selain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1942, ditambah
dengan dua pengadilan, yaitu:
1.
Kootoo hooin (Pengadilan Tinggi),
2.
Saikoo Hooin (Mahkamah Agung).
Dengan Osamu Seirei 1944 no. 2 Pemerintah
jepang menghapuskan dualisme didalam peradilan sesuai dengan asas peradilan
Jepang hanya satu macam peradilan untuk semua golongan penduduk.
Masa
Setelah Indonesia Merdeka
Dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun
1947 ditetapkan pembentukan Mahkamah Agung yang berkedudukan di Yogyakarta.
Juga ditetapkan badan peradilan dalam daerah RI berdasarkan peraturan UU No. 19
tahun 1948, yaitu:
1.
Pengadilan Negeri,
2.
Pengadilan Tinggi,
3.
Mahkamah Agung.
Peradilan umum diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2004, Mahkamah Agung dalam UU No. 5 tahun 2004 dan
sebagai dasar hukum peradilan bungsu Peradilan tata Usaha Negara adalah UU No.
5 Tahun 1986 dengan amandemennya UU No. 9 tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar