Sabtu, 09 Juni 2012

pengantar hukum indonesia resensi



MAKALAH
TUGAS MANDIRI
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR SEMESTER
PENGANTAR HUKUM INDONESIA


NAMA  : ADI FIRDAUS
NIM  :1210305006
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011





 
BAB I
TATA HUKUM INDONESIA

A. Pengertian Tata Hukum
Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau oleh Negara Indonesia. Oleh sebab itu Tata hokum Indonesia ada sejak proklamasi kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru ialah Tata Hukum Indonesia.
            Didalam memorandumnya tertanggal 9 Juni 1966, DPRGR antara lain menyatakan bahwa:
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah ‘detik penjebolan’ tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya…
Dengan demikina jelaslah kiranya bahwa proklamasi berarti:
  1. Menegarakan Indonesia, menjadi suatu Negara;
  2. Pada saat itu Pula penetapan Tata Hukum Indonesia.
Meskipun kita telah merdeka dan berdaulat telah pula dapat merubah system dan dasar susunan ketatanegaraan, namun dalam bidang hukum belum mampu mengubah sama sekali hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat. Ketidakmampuan ini diakui Negara, yaitu dengan selalu mengadakan peraturan peralihan dalam undang-undang dasarnya (pasal peralihan adalah pasal yang berisi petunjuk mengenai peralihan dari tata hukum yang lama ke tata hukum yang baru).
            Pasal peralihan yang dimaksud terdapat pada pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.

B. Politik Hukum Indonesia
Menurut pendapat Teuku Mohammad Radhie, S.H. (Prisma No. 6 tahun ke II desember 1973) pengertian politik hukum yaitu:
“Adapun politik hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan”.
            Didalam UUD 1945 kita tidak menjumpai satu pasal pun yang menyebutkan masalah politik hukum Negara Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Undang-Undang dasar 1950, kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hokum Negara Indonesia dibawah UUD 1950, yaitu pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hukum perdata dan hokum dagang, hokum pidana sipil maupun hokum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan Undang-Undang dalam kitab Hukum, kecuali jika perundang-undangn menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam uandang-undang tersendiri”.
            Dari pasal 102 UUD 1950 dapat diambil kesimpulan bahwa Negara Indonesia pada waktu itu menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga pasal 102 ini terkenal dengan pasal kodifikasi.

C. Pembinaan Hukum nasional
Pada tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Nasional Indonesia telah mengajukan permohonan kepada Perdana Mentri RI agar dibentuk suatu Panitia Negara Pembinaan Hukum Nasional Dengan Keputusan Presiden nomor 107 tahun 1958, dibentuklah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakrta dengan diberi tugas “Melaksanakan Pembinaan Hukum nasional dengan tujan mencapai tata hukum nasional”.
Suatu peristiwa penting dalam pembinaan hokum nasional adalah penemuan lambing keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita yaitu berupa pohon beringin yang berarti pengayoman oleh menteri Dr. Sahardjo yang menggantikan symbol dari Negara Barat yang berupa Dewi Keadilan (themis) yang dibalut matanya dan memegang disatu tangan pedang dan ditangan lain traju (timbangan).
Didalam Negara Republik Indonesia akan hanya dikenal satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Perlu diingat bahwa hukum yang akan kita susun adalah hukum yang modern, meningkatkan kemampuan sesuai kebutuhan, yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
  1. Konsentris, artinya adanya satu tangan yang mengatur/ membuat (yaitu pengundang-undang).
  2. Konvergen, artinya hokum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan.
  3. Tertulis, untuk lebih menjamin kepastian hukuM

BAB 2
SUMBER-SUMBER HUKUM
Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi tegas dan nyata.
Sumber hukum dapat dilihat dari dua segi/sudut, yaitu segi materiil dan segi formil. Sumber hukum dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya sudut ekonomi, sejarah, sosiologi. Sumber hukum formil adalah tempat dimana kita dapat menemukan dan mengenal hukum terdiri dari:

1.      Undang-undang
Undang-undang mempunyai dua pengertian menurut Buys, yakni: (1) Undang-undang dalam arti formil adalah setiap peraturan dibuat oleh alat pengundang-undang dan isinya mengikat umum. Contohnya: unadng-undang yang dibuat berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUD 1945. (2) Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap peraturan keputusan yang dibuat bukan oleh badan pengundang-undang tapi isinya mengikat umum. Contohnya: Peraturan Pemmerintah dasar hukumnya Pasal 5 ayat 2 UUD 1945.

2.      Yurisprudensi
Yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan yurisprudentie dalam bahasa belanda dan Yurisprudence dalam bahasa Perancis, yang artinya keputusan hakim yang terdahulu yang diikuti oleh hakim dan dijadikan dasar keputusan hakim lain mengenai kasus yang sama.
            Ada tiga alasan mengapa seorang hakim mengikuti keputusan hakimlain, yaitu:
Keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan, terutama bila keputusan itu dibuat oleh Mahkamah agung atau pengadilan Tinggi, karena lasan psikologis maka seorang hakim akan mengikuti keputusan hakim lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Karena alasan praktis.
Sependapat, hakim mengikuti keputusan hakim lain karena ia sependapat/ menyetujui keputusan hakim lain tersebut.

3.      Traktat
Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antara dua atau lebih Negara. Bila diikuti oleh dua Negara disebut bilateral, sedangkan bila diikuti oleh banyak Negara disebut multirateral.
Kita mengenal dua macam perjanjian: traktat dan agreement. Traktat dibuat oleh presiden dengan persetujuan DPR, sedang agreement dibuat hanya dengan keputusan presiden, biasanya menyangkut bidang politik.

4.      Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Jadi kebiasaan itu bukan hasil putusan dari badan legislative dalam Negara. Kebiasaan itu walaupun tidak ditentukan oleh pemerintah namun diakui dan ditaati oleh anggota-anggota masyarakat.
            Supaya hukum kebiasaaan itu ditaati, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Suatu perbuatan yang tetap dilakukan orang.
Adanya keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah merupakan kewajiban.

5.      Pendapat Ahli Hukum
Pendapat para ahli hukum/ sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Pendapat ahli/ sarjana Hukum itu menjadi sumber hukum melalui Yurisprudensi. 


BAB 3
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA

A. Sejarah Hukum Perdata
Hukum privat Barat yang sampai sekarang masih berlaku, berasal dari negeri Beland, yang bersumber pada Hukum Privat Perancis. Sedangkan Hukum Privat Prancis bersumber pada Corpus Luris Justinianus dari Romawi.
Hukum Privat yang berlaku di Prancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama Code Civil dan Code de Commerce.
            Sampai kurang 24 tahun sesudah Negeri Belanda merdeka dari Prancis tahun 1815, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Baru pada tahun 1838 dengan berdasarkan asas yang terdapat dalam Code Civil dan Code de Commerce, pemerintah Belanda dapat menciptakan 2 kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama Burgelijk Wetboek yang disingkat BW dan Wetboek van Koophandel disingkat WvK.
            Burgelijk Wetboek memuat peraturan mengenai hokum perdata, dimana kodifikasinya dibagi dalam 4 buah buku, yaitu:
Buku I             : Tentang Orang (van Personen)
Buku II           : Tentang Benda (van zaken)
Buku III          : Tentang Perikatan (van Verbintenissen)
Buku IV          : Tentang Pembuktian dan daluwarsa (van Bewitsen verjaring)
            Wetboek van Koophandel memuat peraturan mengenai perdagangan dan kodifikasi ini terdiri dari 2 buku, yaitu:
Buku I             : Tentang Perniagaan pada umumnya ( van Koophandel in het Algemeen).
Buku II           : Tentang Hak dan Kewajiban yang ditimbulkan oleh perkapalan ( van de Rechten en verpligtingen uit scheepvaart voortsruitende).




B. Buku I: Tentang Orang
Buku I kitab Undang-Undang Hukum Perdata menurut namanya terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur mengenai subjek Hukum. Disamping itu memuat juga peraturan-peraturan hubungan keluarga, yaitu mengenai:
1.      Perkawinan dan hak kewajiban Suami Istri.
Alasan-alasan putusnya perkawinan (pasal 199) diantaranya adalah (1) kematian, (2) kepergian suami atau istri selama 10 tahun, (3) akibat perpisahan meja dan tempat tidur, (4) Perceraian.
Hak dan kewajiban susmi istri dalam BW tercantum dalam Bab V Pasal 103 sampai dengan 118, yang berisi (1) kekuasaan material ada pada suami, yaitu bahwa suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya, (2) kewajiban nafkah dari suami, (3) Istri mengikuti domisili suami, (4) Istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suami, dan lain-lain.
2.      Kekayaan Perkawinan,
Menurut pasal 119, mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah bulat antar harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai kekayaan ini tidak diadakan ketentuan lain dengan perjanjian kawin.
3.      Kekuasaan Orang tua,
Kekuasaan orang tua berlaku selama ayah dan ibunya masih dalam ikatan perkawinan. Kekuasaan orang tua itu berhenti apabila (1) anak telah dewasa atau telah kawin lebih dahulu (sebelum usia dewasa), (2) Perkawinan orangtua putus, (3) kekuasaan orangtua dipecat oleh hakim  (misalnya karena pendidikannya buruk sekali), (4) Pembebasan dari kekuasaan orangtua (misalnya karena kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tua tidak berdaya lagi).
4.      Perwalian dan Pengampuan.
Perwalian  diatur dalam KUH Perdata mulai pasal 331 dan seterusnya. Perwalian dapat dibedakan dalam (1) Methelijk Voogdij (Perwalian menurut undang-undang), perwalian dari orangtua yang amsih hidup, setelah salah satu meninggal dunia terlebih dahulu, (2) Testamenter Voogdij (Perwalian secara wasiat), perwalian yang ditetapkan oleh seorang dari orangtua, yang punya hak orang tua atau perwalian, kepada oranglain setelah orang tua meninggal dunia, (3) Datieve Voogdij, perwalian selain dari hal-hal sebelumnya.
      Pengampuan diatur  dari pasal 433 KUH Perdata dan seterusnya. Antar pengampuan, perwalian, dan kekuasaan orangtua ada persamaan dan ada perbedaanya. Pesamaannya adalah bahwa kesemuanya itu mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hokum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak. Sedangkan perbedaanya yaitu, kekuasaan orangtua adalah kekuasaan asli dilakukan oleh orangtuanya sendiri yang masih dalam ikatan perkawinan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Pada perwalian, pemeliharaan dan bimbingan dilakukan oleh wali, dapatsalah satu orang tuanya sudah tidak terikat lagi dalam perkawinan atau orang lain terhadap anak yang belum dewasa. Pada pengampuan, bimbingan dilaksanakan oleh curator terhadap orang-orang dewasa yang tidak cakap/tidak mampu.

C. Buku II      : Tentang Benda (van zaken)
Didalam system hukum Barat untuk benda dibagi dalam dua macam menurut pasal 503 KUH Perdata yang terdiri dari benda berwujud dan benda tak berwujud (benda bertubuh dan benda tak bertubuh). Selain pembagian tersebut masih dikenal pembagian lain menurut pasal 504 KUH Perdata yang terdiri atas benda bergerak dan benda tidak bergerak.

D. Buku III    : Tentang Perikatan (van Verbintenissen)
            Yang dimaksud dengan Perikatan ialah, suatu perhubungan hokum (mengenai kekayaan benda-benda) antara dua orang yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan pihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
            Objek dari perikatan yaitu prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan yang terdiri dari: (1) Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang dsb. (2) Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, berdasarkan putusan pengadilan. (2) Tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak mendirikan suatu bangunan, berdasarkan putusan pengadilan.


           
E. Buku IV    : Tentang Pembuktian dan daluwarsa (van Bewitsen verjaring)
            Soal pembuktian sebenarnya masuk hukum acara, tetapi pembuat undang-undang pada waktu BW dibuat mempunyai pendapat bahwa pembuktian termasuk apada hukum acara materiil, sehingga dapat dimasukan kedalam hukum perdata materiil. Dalam pemerikasaan perkara perdata hal-hal yang dibantah oleh pihak lawan sajalah yang harus dibuktikan. Menurut undang-undang ada 5 macam pembuktian, yaitu: (1) Surat-Surat, (2) Kesaksian, (3) Persangkaan, (4) Pengakuan, (5) Sumpah.
            Daluwarsa adalah suatu alat untuk meperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946).

BAB 4
ASAS-ASAS HUKUM DAGANG

A. Sejarah Hukum Dagang
            Perkembangannya dimulai sejak kurang lebih tahun 1500. Di Italia dan Prancis Selatan lahir kota-kota pusat perdagangan seperti Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona, dll. Berhubungan dengan hal itu hokum Romawi (Corpus Luris Civillis) tidak dapat menyelesaikan perkara-perkara yang ada pada waktu itu, sehingga para pedagang (gilda) membuat peraturan sendiri disamping Hukum Romawi, yang masih bersifat kedaerahan.
            Di Prancis pada abad 17, Raja Louis XIV memerintahkan menteri Keuangannya Colbert untuk membuat kodifikasi hukum dagang yang pada tahun 1973 (Ordonnance du Commerce) dan pada tahun 1681 dibuat Ordonnance de la Marine.

B. Sistematika KUHD
Kitab Undang-undang Hukum Dagang terdiri dari dua buku, Buku I terdiri atas 10 Bab dan berjudul:
Buku I             : Tentang Dagang Pada Umumnya.
Bab I               : Tentang Pedagang dan perbuatan Pedagang
Bab II              : Tentang Pemegang Buku
Bab III                        : Tentang Beberapa Jenis Perseroan.
Bab IV                        : Tentang Bursa Dagang, Makelar, dan kasir.
Bab V              : Tentang Komisioner, Ekspeditur, Pengangkut dan Nakhoda Perahu yang Melalui sungai dan Perairan Darat.
Bab VI                        : Tentang Surat wesel dan surat order.
Bab VII           : Tentang Cheque, Promes, dan kuitansi kepada pembawa.
Bab VIII         : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam kepailitan.
Bab IX                        : Tentang asuransi dan Pertanggungan pada umumnya.
Bab X              : Tentang Pertanggungan (asuransi) terhadap kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian belum dipenuhi, dan pertanggungan jiwa.
Buku II           : Tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran.
Bab I               : Tentang kapal Laut dan Muatannya.
Bab II              : Tentang pengusaha-pengusaha dan perusahaan perkapalan.
Bab III            : Tentang Nakhoda, Anak kapal, dan penumpang.
Bab IV            : Tentang perjanjian laut.
Bab VA           : Tentang Pengangkutan Barang.
Bab VB           : Tentang Pengngkutan Orang.
Bab VI            : Tentang Penubrukan.
Bab VII           : Tentang Pecahnya kapal, pendamparan, dan ditemukannya barang dilaut.
Bab VIII         : Dihapuskan ( menurut stb. 1933 No. 47 jo. Stb. 1938 no.2 yang mulai berlaku 1 april 1938).
Bab IX            : Tentang Pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan terhadap bahaya pembukaan.
Bab X              : Tentang Pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan didaratan, disungai, dan diperairan darat.
Bab XI                        : Tentang Kerugian laut (Avary).
Bab XII           : Tentang Berakhirnya Perikatan-perikatan dalam perdagangan dilaut.
Bab XIII         : Tentang Kapal-kapal dan Perahu-perahu yang melalui sungai dan perairan daratan.

C. Hubungan Hukum Perdata dengan KUHD
Hukum dagang adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi perbuatan-perbuatan manusia didalam usaha mereka untuk menjalankan perdagangan. Hukum Privat Eropa dibagi dalam hukum Perdata dan Hukum Dagang. Pembagian ini tidak merupakan pembagian yang bersifat asasi, hanya berdasarkan dari riwayat hukum Dagang saja. Pembagian hukum Privat menjadi Hukum dagang dan hokum perdata tidak bersifat asasi dapat dibuktikan dari:
1.      Pasal 1 KUHD yang menyebutkan sebagai berikut:” Kitab Undang-undang Perdata     berlaku juga bagi hal-hal yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang ini, sekedar  didalam undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.
2.      Perjanjian jual beli yang penting dalam hokum dagang tidak ditetapkan dalam KUHD melainkan ditetapkan dalam KUH Perdata.
3.      Asuransi yang penting bagi persoalan perdata ditetapkan dalam KUH Dagang.

D. Perantara Dalam Hukum Dagang
Adapun pemberian perantara produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan, seperti misalnya:
1.      Pekerjaan perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
2.      Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik didarat, laut dan sebagainya.
3.      Pertanggungan, asuransi yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.

E. Pengangkutan
            Pengangkutan adalah perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/ barang dari satu tempat ke lain tempat, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos. Menurut Undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, tidak perlu ia sendiri yang mengusahakan alat pengangkutan.

F. Asuransi
            Asuransi adalah suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu, kejadian mana akan menentukan untung ruginya salah satu pihak.

G. Sumber-sumber Hukum
            Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Kebiasaan, Yurisprudensi, dan Peraturan-peraturan tertulis lainnya antara Undang-Undang tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Undang-Undang No.9 tahun 1969), Undang-Undang Oktroi, Undang-Undang tentang merek, Undang-Undang tentang Kadin, Undang-undang tentang Perindustrian, Koperasi, Pailisemen, dan lain-lain.


H. Persekutuan Dagang
            Dalam hukum dagang dikenal beberapa persekutuan dagang, antara lain:
1.      Firma yaitu suatu persekutuan yang bertujuan melakukan perusahaan bersama dibawah satu nama sehingga dalam bentuk firma itu beberapa orang melakukan usahanya dibawah nama yang telah disepakatinya. Pendirian suatu firma harus dilakukan dengan akte notaris.
2.      Perseroan Komanditer dalam perseroan komanditer terdapat dua macam persero, yaitu persero biasa dan persero komanditer. Persero komanditer hanya menyediakan modal saja dan tidak ikut menjalanakan perusahaan, persero ini hanya bertanggung jawab sampai sejumlah uang yang disetorkan saja.
3.      Perseroan Terbatas, dalam perseroan terbatas tiap persero bertanggung jawab dengan modal yang disetor saja.
4.      Koperasi, perkumpulan koperasi adalah perkumpulan yang anggota-anggotanya diperkenankan keluar masuk dan yang bertujuan mengajukan kepentingan kebendaan para anggotanya dengan jalan mengadakan usaha dalam lapangan ekonomi demi kesejahteraan bersama.

BAB 5
ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA

A. Pengertian Negara dan Proklamasi
            Logemann mendefinisikan :” Negara adalah sesuatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat”.
            Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber Hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan RI. Pengertian Proklamasi dalam garis besarnya adalah:
1.      Lahirnya Negara Republik Indonesia.
2.      Puncak Perjuangan Pergerakan kemerdekaan, setelah berjuang berpuluh-puluh tahun.
3.      Titik tolak dari pelaksanaan Amanat penderita Rakyat.

B. Unsur-unsur Negara
            Suatu Negara dalam bentuk lahirnya akan menampakan dirinya sebagai:
1. Daerah atau wilayah.
2. Masyarakat.
3. Penguasa tertinggi.
Disamping tiga unsur diatas ada sarjana yang menambah satu unsure lagi yaitu pengakuan dari Negara lain.

Asas Kewarganegaraan
Adapun asas-asas kewarganegaraan yang mula-mula dipergunakan sebagai dasra untuk menentukan seseorang masuk warga suatu Negara, didasarkan kepada:
1. Asas keturunan atau Ius sanguinis.
2. Asas tempat kelahiran atau Ius Soli.
Didalam menentukan kewarganegaraan itu dipergunakan dua stelsel kewarganegaraan, disamping asas-asas tersebut diatas. Stelsel tersebut adalah stelsel aktif yaitu menurut stelsel ini orang harus melakukan tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warga Negara, sedangkan stelsel pasif yaitu menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warga Negara tanpa melakukan suatu tinadakan hukum tertentu.
Sehubungan dengan kedua stelsel itu harus dibedakan hak opsi yaitu hak untuk memilih suatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) dan hak repudiasi yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).

C. Sistem Pemerintahan Negara
            System pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 ditegaskan sebagai berikut:
1.      Indonesia ialah Negara yang beradasrkan Hukum (rechstaat). Negara Indonesia berdasarkan hokum tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2.      System konstitusional, pemerintah berdasarkan atas system konstitusional (hokum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak tak terbatas).
3.      Kekuasaan Negara yang tertinggi berada ditangan MPR.
4.      Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majlis.
5.      Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6.      Menteri Negara ialah pembantu presiden, menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7.      Kekuasaan kepala Negara tidak tak terbatas.

D. Asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan
            Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan pembagian wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 itu antara lain berbunyi:” Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang”.
            Sebagai pelaksana Pasal 18 UUD 1945 adalah Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan didaerah. Menurut Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan desentralisasi. Ada tiga asas yang berlaku yaitu:
1.      Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat didaerah.
3.      Tugas pembantu adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.



BAB 6
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
A. Sejarah Hukum Pidana
            Sumber hukum pidana yang digunakan sekarang ini masih menggunakan kodifikasi yang berasal dari zaman Hindia Belanda Wetboek van Strafrecht. Pada zaman Hindia Belanda untuk hukum pidana, berbeda dalam hokum perdata, telah ada unifikasi untuk semua golongan penduduk. Unifikasi ini tercapai pada tanggal 1 januari 1918. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/WvS ini merupakan salinan dari WvS Belanda yang selesai dibuat tahun 1881 dan berlaku mulai tahun 1886.
            Sebelum tahun 1918, dalam hokum Pidana ada dualisme bagi golongan Eropa, ada Wvs untuk golongan Eropa disamping ada Wvs untuk golongn Bumi Putera. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku setelah kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 adalah juga kitab Undang-Undang Hukum Pidana Warisan zaman Hindia Belanda dengan perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946.
            Dalam perjalanan sejarah, di Indonesia pernah terjadi seolah-olah pada waktu itu ada dua (KUHP karena pemerintah Hindia Belnda yang kembali lagi masuk Indonesia dengan membonceng sekutu dan menduduki daerah Jakarta dan sekitarnya, telah mengadakan perubahan-perubahan yang dimuat dalam stb. 1945 Nomor 135 yang berlaku untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Dengan didudukinya Jakarta oleh Belanda, pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Pemerintah RI yang berkedudukan di Yogyakarta mengadakan perubahan terhadap WvS warisan Belnda yang kita gunakan melalui Pasal II Aturan Peralihan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang berlaku untuk daerah RI selain yang diduduki oleh Belanda.
            Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda berhasil kita usir, maka oleh Pemerintahan RI diundangkan Undang-Undang nomor 73 tahun 1958 (LN. No. 127 tahun 1958), yang antara lain menyatakan bahwa Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, mulai tahun 1958 keseragaman dalam Hukum Pidana tercapai lagi.



B. Asas Legalitas
            Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi sebagai berikut:” Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangn yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.  Nullum Delictum nulla poena sine praevia lege poenali, asas ini oleh beberapa ahli disebut asas legalitas. Rumusan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini berasal dari sarjana anselm von Feuerbach. Maksud teori Feurbach ini adalah membatasi hasrat manusia untuk berbuat kejahatan, sehingga ancaman hukuman itu bersifat preventif. Teori von Feurbach ini diberi nama teori paksaan psikologis (psychologische dwang).

C. Pembagian Hukum Pidana
            Hukum Pidana dapat dibagi  yaitu Hukum pidana Objektif (ius Punale) adalah semua peraturan yang mengadung keharusan atau larangan, yang pelanggarannya diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan. Hukum pidana Objektif ini yang terdiri dari  hukum pidana Formil atau disebut juga hukum Acara Pidana, memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Materiil. Hukum Pidana Materiil mengatur apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum. Dapat dikatakan Hukum Pidana materiil mengatur rumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
            Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi), yaitu hak Negara atau alat perlengkapannya untuk menghukum seseorang berdasarkan hukum Pidana.

D. Peristiwa Pidana/ Delik/ Tindak Pidana
            Istilah peristiwa pidana atau delik atau tindak pidana mempunyai arti tindakan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang bersifat melawan hokum dan dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan. Peristiwa pidana ini mempunyai du segi yaitu segi objektif yang menyangkut kelakuan yang bertentangan dengan hukum dan segi subjektif yang menyangkut pembuat/ pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum.
            Kepada perbuatan yang tidak memenuhi salah satu unsure dapat dipidana karena adanya alasan penghapus pidana yang terdiri dari alasan pemaaf, apabila pelakunya tidak dapat dipertanggung jawabkan misalnya orang gila yang melakuakn pembunuhan dan alasan pembenar apabila perbuatannya tidak bersifat melawan hukum misalnya algojo yang melakukan tugasnya mengeksekusikan pidana mati.

E. Kejahatan dan Pelanggaran
            Pembedaan yang bersifat kualitatif, kejahatan adalah delik hokum (recht delict), yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepa apakah perbuatan itu diancam dengan pidana dalam satu undang-undang atau tidak, jadi benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misalnya pembunuhan.
Pelanggaran adalah delik undang-undang (wet delict), yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari bahwa dapat dipidana karena Undang-Undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misalnya membuang sampah dijalan.
Perbedaan yang bersifat kuantitatif, pembedaan ini dapat dilihat dari segi kriminologi, yaitu kalau pelanggaran ancaman pidananya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan.

F. Tujuan Pemindahan Pidana
            Dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dua macam hukuman, yaitu:
1.      Hukuman pidana pokok, yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman yang lain seperti hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda uang.
2.      Hukuman Pidana tambahan, yang harus dijatuhkan bersama dengan pidana/ hukuman pokok terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan diumumkannya keputusan hakim.
Mengenai dasar pembenaran penjatuhan pidana ada tiga teori yaitu berdasarkan teori absolute, teori relative, dan teori gabungan. Menurut teori absolute tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum pidana itu sendiri. Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhi hukuman/pidana. Sedang menurut teori relative tujuan pemidaan adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan, menakut-nakuti sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan, untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan. Menurut teori gabungan, yang merupakan kombinasi antara teori absolute dan relative, tujuan penjatuhan pidana karena orang tersebut melakukan kejahatan dan agar ia jangan melakukan kejahatan lagi.  

G. Penafsiran Undang-aundang Pidana
            Didalam buku I title IX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimuat penafsiran-penafsiran yang hanya berlaku terhadap perkataan-perkataan yang tercantum didalam KUHP, jadi penafsiran itu tidak berlaku terhadap perkataan dalam aturan pidana yang ada diluar KUHP.


BAB 7
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
ASAS HUKUM ACARA PIDANA
ASAS HUKUM ACARA PERADILAN DAN TATA USAHA NEGARA

A. Hukum Acara Perdata
            Hukum acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formil, yaitu aturan-aturan hokum yang mengatur cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
            Pada tiap-tiap perkara perdata yang diperiksa dimuka pemgadilan, sekurang-kurangnya ada dua belah pihak yang berhadapan satu sama lain, yaitu penggugat dan tergugat. Penggugat adalah pihak yang mulai membuat perkara, sedang tergugat adalah pihak yang oleh pihak penggugat ditarik kemuka pengadilan.
            Adanya suatu perkara perdata, tergantung pada inisiatif penggugat yaitu dimulainya pengajuan surat oleh penggugat atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya tergugat bertempat tinggal (pasal 118 HIR). Pengajuan gugatan pada prinsipnya harus tertulis, namun kalau penggugat seorang yang buta huruf dapat disampaikan secara lisan lalu ketua memerintahkan untuk menuliskannya.
            Kemudian kedua belah pihak dipanggil oleh Hakim menghadap kesidang pada hari dan jam yang telah ditentukan oleh hakim. Apabila kedua belah pihak telah hadir pada harai yang ditentukan, hakim akan membuka sidang. Mula-mula dalam sidang itu hakim akan mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.  Jika perdamaian tercapai maka dibuatlah akte perdamaian yang isinya harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Jika perdamaian tidak tercapai, maka hakim meneruskan perkararanya.
            Pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan adalah bersifat terbuka. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedang keputusan hakim juga harus diucapkan dalam sidang terbuka, seperti yang diatur dalam Pasal 20 undang-Undang Nomor 4 tahun 2004.
            Dalam perkara perdata hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hukum acara perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu dibuktikan.
            Selama pemeriksaan masing-masing pihak diperkenankan mengajukan saksi-saksi ataupun bukti-bukti untuk menguatkan kebenarannya. Sebelum memberikan kesaksian para saksi harus mengangkat sumpah terlebih dahulu (undang-undang juga harus mengatur siapa-siapa yang tidak boleh menjadi saksi).
            Didalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya 5 macam alat pembuktian yaitu bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan, dan sumpah.
            Setelah hakim selesai mendengarkan dan mempertimbangkan segala sesuatu berkenaan dengan perkara tersebut (keterangan-keterangan dari kedua belah pihak yang berperkara, saksi-saksi dan bukti-bukti yang dikemukakan dalam persidangan), maka sampailah kepada keputusan hakim tentang siapa yang menang. Kalau penggugat menang, berarti gugatan diterima yang berakibat tergugat dikalahkan. Begitu pula sebaliknya, bila penggugat kalah berarti gugatan tidak diterima dan tergugat menang. Gugatan diterima atau tidak diterima ini dapat seluruhnya, tapi dapat juga hanya sebagian. Yang kalah diwajibkan membayar ongkos perkara.
            Putusan pengadilan ini baru dapat dilaksanakan kalau putusan ini sudah mempunyai kekuatan hukum (in kracht van gewijsde), yang berarti kedua belah pihak telah menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan upaya hokum lagi.
            Hakim dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa hadirnya tergugat dalam hal tergugat telah dipanggil dengan sepatutnya tetapi tidak hadir tanpa satu alas an yang sah. Putusan ini disebut verstek. Terhadap putusan ini yang biasanya merugikan, tergugat dapat mengajukan keberatan/ perlawanan yang disebut verzet , yang diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut dalam tingkat pertama. Putusan verstek tidak dapat dibanding.
            Banding, verzet dan kasasi itu merupakan upaya hokum terhadap putusan hakim yaitu suatu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan.




B. Hukum Acara Pidana
            Hukum acara Pidana disebut juga Hukum Pidana Formiil adalah keseluruhan aturan hukum mengenai cara melaksanakan ketentuan Hukum Pidana jika ada pelanggaran terhadap norma-norma yang dimaksud oleh ketentuan ini.
            Pemeriksaan dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
1.      Pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek).
2.      Pemeriksaan terakhir (eindonderzoek) didalam sidang Pengadilan pada tingkat pertama.
3.      Memajukan upaya hukum (rechtmiddelen) yang dapat dijalankan terhadap putusan hakim, baik ditingkat pertema maupun pada tingkat banding.
4.      Pelaksanaan putusan Hakim.
Dalam pemeriksaan pendahuluan ini dikumpulkan bahan-bahan yang mungkin dapat menjadi bukti terjadinya pelanggaran atau kejahatan. Jumlah dan sifat bahan-bahan ini menentukan apakah si tertuduh akan dituntut atau tidak. Dalam pemeriksaan pendahuluan dipergunakan sebagai pedoman asas-asas sebagai berikut:
1.      Asas kebenaran materiil (kebenaran dan kenyataan), yaitu usaha-usaha yang ditujukan untuk mengetahui apakah benar-benar terjadi pelanggaran atau kejahatan.
2.      Asas inquisitoir, yaitu bahan dalam pemeriksaan pendahuluan ini si tertuduh/ si tersangka hanyalah merupakan objek.
Pemeriksaan dalam sidang bertujuan untuk menguji apakah suatu tindak pidana betul-betul terjadi atau apakah bukti-bukti yang diajukan itu sah atau tidak. Berlainan dengan pemeriksaan pendahuluan, maka pada pemeriksaan dalam sidang terdakwa/ tertuduh telah dianggap sebagai subjek yang berarti telah mempunyai kedudukan sebagai pihak yang sederajat dengan penuntut umum. Sifat pemeriksaan ini adalah accusatoir.
            Setelah pemeriksaan alat-alat bukti selesai, maka tiba saatnya Jaksa membacakan tuntutanya (requisitoir), dan setelah jaksa membacakan tuntutanya, tiba giliran terdakwa membacakan pledoi dan kesempatan berikutnya ada pada jaksa membacakan pledoi dan kesempatan berikutnya ada pada jaksa membacakan replik. Kemudian kesempatan berikutnya terdakwa membacakan dupliknya. Kesempatan diberikan kepada kedua belah pihak jaksa dan terdakwa sampai kedua belah pihak puas. Setelah hakim memperoleh keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran perkara tersebut, maka Hakim akan mempertimbangkan hukuman apa yang akan dijatuhkan. Keputusan hakim (vonis) dapat berupa:
1.      Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak), dalam hal ini perbuatan yang dituduhkan jaksa tidak terbukti.
2.      Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (ontslag van rechtvervolging), dalam hal ini perbuatan yang dituduhkan jaksa terbukti tetapi bukan merupakan kejahatan ataupun pelanggaran.
3.      Putusan yang mengandung penghukuman.
Sesudah perkara diputus oleh hakim, maka apabila jaksa atau terdakwa tidak puas terhadap putusan hakim, mereka dapat mengajukan upaya hukum dalam hal ini dapat banding ke Pengadilan Tinggi. Kalau keputusan Pengadilan Tinggi belum memuaskan, dapat minta kasasi kepada Mahkamah Agung.
Jika keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hokum tetap, artinya sudah tidak dapat diajukan perlawanan lagi, maka keputusan itu dapat dilaksanakan dan ini merupakan tugas Jaksa untuk mengeksekusikan atau melaksanakan keputusan Hakim.

C. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
            Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 menyebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
1.      Peradilan Umum,
2.      Peradilan Agama,
3.      Peradilan Militer,
4.      Peradilan Tata Usaha Negara.
Hukum acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan antara lain adalah:
1.      Pada PTUN Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangannya guna memperoleh kebenaran material dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas.
2.      Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan TUN yang disengketakan.
3.      Kedudukan penggugat dan tergugat pada PTUN akan tetap sama sampai tingkat kasasi tidak dimungkinkan adanya gugat balik, sehingga tidak ada penggugat tau tergugat rekonvensi.
4.      Pada PTUN pengajuan gugatan diberi batas waktu yaitu 90 (sembilan puluh) hari.
Wewenang PTUN adalah mengadili sengeketa Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Privat (sebagai penggugat dengan badan atau Pejabat TUN).
Menurut pasal 1 butir ke-3 UU No. 5 tahun 1986, dikatakan bahwa objek atau pangkal sengketa Tata Usaha Negara adalah:” Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum tata usaha yang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata”.
            Dalam pasal 53 ayat (1) ditegaskan bahwa:” Seorang atau badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengeketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi/ atau rehabilitasi.
            Gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. Pengajuan gugatan sengketa tata usaha Negara sama pada perkara perdata pada pengadilan umum. Gugatan harus memuat: nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya; nama jabatan, tempat kedudukan tergugat; dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan.
            Sebelum pemeriksaan pokok perkara, dilakukan lebih dahulu rapat permusyawaratan (pasal 62), dimana ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan, bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.
            Sebelum pemriksaan pokok dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan (pasal 63) untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
Penetapan hari Sidang (pasal 59 ayat 3, pasal 64), selambat- lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menntukan hari, jam, dan tempat persidangan serta menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir.
Setelah kedua belah pihak dipanggil menghadap, maka hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakannya terbuka untuk umum., apabila majlis hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan Negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Pemeriksaan dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat jawabannya oleh hakim, dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban.
Alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara PTUN seperti surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan Hakim. Beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan dan kedua belah pihak diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya yang terakhir berupa kesimpulan, maka tibalah hakim memberikan putusan. Putusan hakim itu (pasal 97 ayat 7) dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur).
Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap yang dapat dilaksanakan.
Permohonan pemeriksaan Bnading diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepadanya secar sah.
Terhadap putusan tingkat akhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.

BAB 8
ASAS-ASAS HUKUM KETENAGAKERJAAN/ PERBURUHAN

A. Pengertian Hukum Perburuhan
            Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pemberi pekerjaan/ majikan, dan yang mengatur penyelesaian perselisihan antara pekerja dan majikan. Hubungan kerja ini berdasarkan asas bahwa pekerja/buruh diberi upah untuk pekerjaan yang dilakukannya bagi majikannya.
            Dalam rumusan pengertian perburuhan dikatakan bahwa buruh adalah orang yang melakukan pekerjaan pada orang lain, melakukan pekerjaan pada orang lain berarti melakukan pekerjaan dibawah pimpinan pihak lain.

B. Subjek Hukum Perburuhan
            Yang menjadi subjek hokum perburuhan adalah:
1.      Orang-orang atau buruh dan majikan,
2.      Organisasi perburuhan, organisasi majikan, dan organisasi buruh,
3.      Badan-badan resmi,
4.      Organisasi perburuhan sedunia (ILO), walaupun tersangkut secara tidak langsung.

C. Perjanjian Kerja dan Perjanjian Perburuhan
            Hubungan antar buruh dan majikan, disebut hubungan kerja, terjadi setelah diadakan perjanjian eleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
            Dalam hubungan kerja antara majikan dan buruh, dapat terjadi pemutusan hubungan kerja. Ada empat macam pemutusan hubungan kerja yaitu:
1.      Pemutusan hubungan kerja oleh majikan,
2.      Pemutusan hubungan kerja oleh buruh,
3.      Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan atas permohonan buruh atau majikan,
4.      Pemutusan hubungan kerja oleh karena hukum, dalam hal ini jika perjanjian kerja itu telah selesai masa berlakunya.

D. Sumber-Sumber Hukum Perburuhan
            Sebagai sumber Hukum Perburuhan pada saat sekarang seperti pada hukum-hukum yang lain, masih ada digunakan beberapa peraturan yang berasal dari zaman colonial Belanda, misalnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan.
            Namun kita sudah mempunyai peraturan-peraturan yang merupakan produk nasional, antara lain:
1.      UU No. 33 Tahun 1974, tentang UU Kecelakaan.
2.      UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan.
3.      UU No. 12 Tahun 1948, tentang Undang-Undang Kerja.
4.      UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
5.      UU No. 12 Tahun 1946 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
6.      UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
7.      UU No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan.
8.      Penetapan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1963 tentang pencegahan Pemogokan dan/ atau penutupan (lock out) diperusahaan-perusahaan, jawatan-jawatan, dan badan-badan vital.
9.      UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.


BAB 9
ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Istilah dan Pengertian
            Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, pengajaran, dan lain-lain.
            Administarsi Negara memerlukan peraturan-peraturan yang lebih memaksa daripada Hukum Privat, karena tidak semua orang cenderung secar sukarela menaati perintah Administrasi Negara apabila perintah tersebut dikeluarkan berdasarkan Hukum Privat. Hukum Administrasi Negara lebih memaksa supaya penyelenggaraan kepentingan umum lebih terjamin.

B. Freies Ermenssen dan Detournement de Pouvoir
            Agar alat perlengkapan Negara, dalam hal ini organ Administrasi Negara dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum secara baik, maka Administrasi Negara memerlukan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah penting yang timbul dengan sekonyong-konyong, yang peraturan penyelesaiannya belum ada, atau belum dibuat oleh badan Legislatif. Kemerdekaan tersebut disebut Freies Ermenssen.
            Apabila suatu alat perlengkapan Negara yang diberi kewenangan tertentu, tidak mempergunakan wewenangnya sesuai dengan tujuan yang telah diberikan oleh peraturan yang menjadi dasarnya, dapat dikatakan bahwa alat perlengkapan itu telah melakukan “ Detournement de Pouvoir”. Detournement de Pouvoir ini sering terjadi, akibat suatu Freies Ermenssen yang disalah gunakan.

C. Peraturan dan Ketetapan
            Ketetapan ini merupakan perbuatan pemerintah/ Administrasi Negara yang bersegi satu, dimana telah menimbulkan akibat hukum dengan dikeluarkannya ketetapan oleh pihak Administrasi Negara tanpa menunggu reaksi dari yang dikenai ketetapan. Bedanya dengan peraturan adalah ketetapan dibuat untuk menyelesaikan suatu hal yang konkrit, yang telah diketahui lebih dahulu oleh pihak Administrasi Negara, sedang peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum diketahui lebih dahulu, tapi mungkin akan terjadi. Peraturan ditujukan pada hal-hal yang masih bersifat abstrak.



BAB 10
ASAS-ASAS HUKUM ADAT
A. Istilah
            Istilah Hukum Adat dalam pengertian Hukum Hindia Belanda adalah ciptaan Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, namun baru dikenal sebagai pengertian teknis Yuridis dan sebagai objek ilmu pengetahuan Hukum positif setelah diperkenalkan oleh prof. Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai bapak hukum adat.
            Hukum adat adalah keseluruhan aturan tiongkah laku yang “adat” dan sekaligus “hukum” pula. Dengan demikian Hukum adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tidak tertulis (sebagian kecil saja yang bersifat tertulis).

B. Sifat Hukum Adat
            Sifat Hukum adat aadalah pluralistis, artinya banyak macam jenisnya dan berlainan untuk berbagai suku bangsa dan berbagai daerah, jadi tidak bersifat uniform.

C. Tipe Masyarakat dan Susunan Hukum Kekeluargaan
            Didalam masyarakat adat dikenal 3 macam tipe masyarakat hokum, yaitu:
1.      Tipe masyarakat hukum yang genealogis, yaitu masyarakat hokum yang berdasarkan atas pertalian darah, misalnya masyarakat hukum Toraja.
2.      Tipe masyarakat hukum teritolial, yaitu masyarakat hukum yang berdasarkan/ bertalian dengan tempat tinggal atau daerah, misalnya masyarakat hukum Aceh.
3.      Tipe masyarakat genealogis-teritolial, pertalian masyarakat disini disamping pertalian darah, juga berdasarkan daerah/ wilayah.
Dalam susunan hukum kekeluargaan dari masyarakat hukum adat, dikenal 3 golongan yaitu:
1.      Susunan hukum kekeluargaan yang patrilineal adalah susunan yang mengikuti garis keturunan bapak.
2.      Susunan hukum kekeluargaan yang bersifat matrilineal dimana susunan hokum kekeluargaannya mengikuti garis keturunan ibu.
3.      Susunan hukum yang bersifat parental, disini susunannya mengikuti garis keturunan dari pihak bapak maupun ibu.

D. Hukum Tanah
            Dalam hukum tanah, perjanjian-perjanjian jual beli dapat mengandung tiga jenis maksud yaitu:
1.      Menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran tunai sejumlah uang, sedemikian rupa sehingga orang yang menyerahkan tetap ada hak atas kembalinya lagi tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali sejumlah uang yang sama. Di Minangkabau disebut menggadai, di Jawa disebut adol sende, di Sunda disebut ngajual akad.
2.      Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang tanpa hak menebusnya, jadi buat selama-lamanya.
3.      Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa perbuatan-perbuatan hokum lagi, yaitu sesudah berlaku beberapa tahun panenan (menjual tahunan).


BAB 11
ASAS-ASAS HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian Hukum Internasional
            Hukum ini sering disebut Hukum Antar Negara, atau dengan istilah yang digunakan oleh Prof. Kranenburg, yaitu “tussenstaatsrecht”, hukum yang diadakan untuk mengatur pergaulan antara Negara-negara yang berdaulat dan merdeka.
            J.G Starke dalam bukunya An Introduction to International Law, memberikan definisi “ Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum yang sebahagian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negar-negara, dank arena itu ditaati dalam hubungan negar-negara”.

B. Subjek Hukum International
1.      Negara yang diakui sebagai subjek Hukum International hanyalah Negara yang berdaulat, Negara yang tidak tergantung pada Negara lain.
2.      Gabungan Negara, ini bertindak dalam pergaulan antar negara-negara sebagai kesatuan, seperti dulu ada Duitse  Bond.
3.      Organisasi-organisasi Internasional misalnya Liga Bangsa-Bangsa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dll.
4.      Kursi Suci (Heilige Stoel) yang dimaksud dengan kursi suci adalah Gereja Katholik Roma yang diwakili oleh Paus. Walaupun kursi suci bukanlah suatu Negara namun dianggap sebagai Negara.
5.      Manusia, mengenai manusia sebagai subjek hukum dari Hukum Internasional disamping Negara, masih banyak yang belum dapat menerima, tetapi pendapat makin lama makin diterima umum.

C. Sumber Formil Hukum Internasional
Sumber formil Hukum Internasional terdapat dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional. Dapat dikatakan bahwa sumber formil dari Hukum Internasional adalah:
1.      Traktat (perjanjian Internasional).
2.      Kebiasaan Internasional.
3.      Asas-asas hukum umum yang diakui oleh “Civilized nations”.
4.      Yurisprudensi Internasional (dari peradilan internasional).
5.      Anggapan- anggapan para ahli hukum internasional.

D. Struktur dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional
            Struktur hukum internasional berbeda dengan struktur hukum nasional yang mempunyai kekuatan eksekutif pusat, yang melalui jalan hukum secara efektif dapat memaksa para anggotanya untuk menaati peraturan-peraturannya.
            Yang menjadi dasar berlakuanya hukum internasional adalah anggapan mengenai hukum internasional itu. Anggapan yang pertama ialah bahwa suatu perjanjian yang dibuat harus diataati. Anggapan ini kemudian menjadi asas dalam hukum internasional, yaitu asas Pacta Sunt Servanda, artinya setiap perjanjian harus ditaati. Anggapan yang kedua adalah bahwa hukum internasional itu derajadnya lebih tinggi dari hukum nasional. Disebut dengan asas Primat Hukum Internasional.

E. Isi Hukum Internasional
            Hukum Internasional terdiri dari hukum damai yang mengatur hubungan antara Negara-negara diwaktu damai, dan hukum perang yang memuat aturan-aturan tentang hubungan antar Negara-negara yang berperang dan menentukan juga larangan-larangan mengenai cara berperang.
            Hukum kenetralan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbale balik antara negar-negara yang berperang dengan Negara-negara yang netral.

F. Menerima dan Menempatkan Perwakilan
            Hukum damai diantaranya mengatur hubungan Negara yang satu dengan yang lain dimasa damai. Tiap-tiap Negara mempunyai hak untuk mengadakan hubungan luar negeri. Hubungan luar negeri dilakukan oleh dua perwakilan, yaitu:
1.      Perwakilan diplomatic, tugasnya adalah tugas politik, yaitu menjalankan politik Negara yang diwakili meliputi kegiatan-kegiatan diantaranya: (a) memlihara kepentingan negaranya diluar negeri, guna menyelesaikan tiap perselisihan secara damai, (b) melindungi warga negaranya diluar negeri, (c) menjadi perantara dalam mtuntutan/ tuduhan dari negaranya kepada Negara yang ditempati. Tugas perwakilan diplomatic ini dibebankan kepada seorang duta, tiap Negara mempuanyai hak untuk menerima dan menempatkan seorang duta.
2.      Konsuler adalah wakil Negara yang mempunyai tugas memperhatikan kepentingan warga negaranya diluar negeri mengenai keadaaan social ekonomi. Konsul tidak mempunyai tugas politik seperti tugas duta. Konsul tidak mempunyai suatu kepercayaan, mereka hanya mempunyai surat pengangkatan (letter de provision).
3.      Perwakilan lainnya ada yang disebut atase, ada dua macam. Atase yang dikirim oleh Departement Luar negeri dan merupakan perwakilan terendah. Dan atase yang dikirim oleh departemen lainnya, misalnya atase pers, yang dikirim oleh departemen penerangan.


BAB 12
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. Pengertian Hukum Perdata Internasioanl
            Dapat dikatakan bahwa Hukum perdata internasional adalah sekumpulan peraturan yang mengatur peraturan apa yang menjadi peraturan hukum atau peraturan mana yang berlaku mengenai hubungan hukum yang diadakan oleh dua atau lebih orang yang tunduk pada tata hukum yang berbeda.

B. Peraturan- peraturan Hukum Perdata Internasional
            Peraturan-peraturan hukum perdata Internasional terdiri atas dua golongan yaitu:
1.      Peraturan-peraturan petunjuk (verwijsingsregels, “hukum mana”), yaitu peraturan yang menunjuk hukum nasional mana yang akan mengatur hubungan yang bersangkutan.
2.      Peraturan-peraturan asli atau peraturan-peraturan sendiri (eigen regels, hukum apa), ialah peraturan yang memberikan penyelesaian sendiri. Peraturan sendiri ini tidak menunjuk pada hukum nasional mana yang akan mangaturnya, tetapi mengatur sendiri.

C. Kedudukan Istri dalam Hukum Perdata Internasional
            Seorang istri dalam Hukum Perdata Internasional mengikuti kebangsaan suaminya. Menurut hukum perdata internasional tidak dibenarkan apabila dalam perkawinan si istri mempertaankan kewarganegaraanya.


BAB 13
ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA

A. Pengertian Hukum Agraria
            Hukum Agraria ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

B. Undang-undang nomor 5 tahun 1960
            UUPA no. 5 tahun 1960 ini berdasarkan hukum adat, dan hak-hak atas tanah yang dikenal dalam hukum agrarian nasional kita adalah:
1.      Hak milik
2.      Hak guna usaha
3.      Hak guna bangunan
4.      Hak pakai
5.      Hak sewa
6.      Hak membuka tanah
7.      Hak memungut hasil hutan
8.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Sedang hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) UU no. 5 tahun 1960, ialah:
1.      Hak guna air,
2.      Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
3.      Hak guna ruang angkasa.

Kalau kita melihat UUPA No. 5 tahun 1960 ini, ada asas-asas yang terkandung didalamnya sebagai berikut:
  1. Hak menguasai ada pada Negara.
  2. Dasarnya adalah hukum adat.
  3. Pengakuan terhadap hak ulayat.
  4. Adanya fungsi social hak atas tanah.
  5. Tidak membedakan sesama warga Negara Indonesia, juga tidak membedakan laki-laki dengan perempuan, dalam hal pemilikan tanah.
  6. Tanah pada dasarnya harus dikerjakan secara aktif.
  7. Pemegang hak wajib memelihara tanah.


BAB 14
ASAS-ASAS HUKUM PAJAK

A. Pengertian Pajak
            Pajak adalah iuran kepada Negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali secara langsung.
            Fungsi pajak itu adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.
            Negara atau pemerintah dalam memungut pajak harus berdasarkan undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 23 UUD 1945 yang isinya sebagai berikut:” segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang”.

B. Jenis-jenis Pajak
            Pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah dapat digolong-golongkan sebagai berikut, dilihat dari instansi pemungutannya dapat dibagi menjadi:
1.      Pajak daerah, pajak yang dipungut oleh daerah-daerah tingkat I, provinsi, atau daerah tingkat II.
2.      Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, penyelenggaraannya dilakukan oleh kantor pelayanan pajak, untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya.
3.      Pajak langsung, ialah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain.
4.      Pajak tak langsung, ialah pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikan harga, karena akhirnya ditanggung oleh pembeli dan pajak tersebut baru terhutang jika terjadi hal-hal yang menyebabkan terhutang pajak.

C. Timbulnya Kewajiban Pajak
            Kewajiban pajak objektif ialah kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dapat dikenakan pajak (objektif). Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban pajak yang melihat pada orang/ badan hukumnya.
            Seorang wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak, atas suatu:
1.      Surat pemberitaan,
2.      Surat ketetatapan pajak,
3.      Surat ketetapan pajak tambahan,
4.      Surat keputusan kelebihan pembayaran,
5.      Pemungutan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan perpajakan.



BAB 15
PERADILAN

            Pada zaman Hindia Belanda ada lima buah tatanan peradilan:
1.      Tatanan peradilan Gubernemen, yang mleiputi seluruh daerah Hindia Belanda.
2.      Ada bagian-bagian Hindia Belanda, dimana rakyatnya dibiarkan menyelenggarakan peradilan sendiri, yang mengadili menurut tatanan peradilan pribumi.
3.      Peradilan Swapraja didaerah swapraja.
4.      Peradilan agama yang terdapat baik dibagian-bagian Hindia Belanda dimana semata-mata ada peradilan agama merupakan bagian dari peradilan pribumi atau didalam daerah-daerah swapraja sebagai bagian dari peradilan swapraja.
5.      Peradilan desa didalam masyarakat desa.

Masa Pendudukan Jepang (1942 – 1945)
Setelah balatentara Jepang menguasai pulau Jawa, dikeluarkanlah undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 maret 1942 no. 1 yang menentukan bahwa sementara segala peraturan-peraturan dari pemerintah Belanda terus masih berlaku asal tidak bertentangan dengan peraturan balatentara jepang.
Untuk peradilan sipil, dengan undang-undang No. 14 tahun 1942 ditetapkan “ Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai Nippon” yang akan mengadili perkara perdata maupun perkara pidana, juga pada waktu itu dibentuk kejaksaan.
Pengadilan-pengadilan yang didirikan merupakan lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada, kekuasaannya tidak berubah kecuali ada beberapa pengadilan yang dihapuskan.
Pengadilan-pengadilan ini adalah:
1.      Gun Hooin (Pengadilan Kawedanaan),
2.      Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten),
3.      Keizei Hooin (pengadilan Kepolisian),
4.      Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri).
Dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 1942, yang mengatur kembali susunan pengadilan sipil, selain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1942, ditambah dengan dua pengadilan, yaitu:
1.      Kootoo hooin (Pengadilan Tinggi),
2.      Saikoo Hooin (Mahkamah Agung).
            Dengan Osamu Seirei 1944 no. 2 Pemerintah jepang menghapuskan dualisme didalam peradilan sesuai dengan asas peradilan Jepang hanya satu macam peradilan untuk semua golongan penduduk.

Masa Setelah Indonesia Merdeka
            Dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1947 ditetapkan pembentukan Mahkamah Agung yang berkedudukan di Yogyakarta. Juga ditetapkan badan peradilan dalam daerah RI berdasarkan peraturan UU No. 19 tahun 1948, yaitu:
1.      Pengadilan Negeri,
2.      Pengadilan Tinggi,
3.      Mahkamah Agung.
            Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004, Mahkamah Agung dalam UU No. 5 tahun 2004 dan sebagai dasar hukum peradilan bungsu Peradilan tata Usaha Negara adalah UU No. 5 Tahun 1986 dengan amandemennya UU No. 9 tahun 2004.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar